“Dulu di desa ini pernah terjadi kemarau panjang, setelah dilakukan ritual tersebut, langsung turun hujan. Arti ritual manten kucing itu bukan berarti menikahkan seekor kucing, tetapi memandikan seekor kucing di coban (telaga),” ujar Kepala Desa Pelem, Nugroho Agus, ditemui Surya di rumahnya, Sabtu (27/11).
Dikisahkan Agus, asal muasal ritual manten kucing itu mempunyai sejarah panjang, yang hingga sekarang masih dipercaya oleh masyarakat setempat. Dahulu, di Desa Pelem hidup seorang Demang yang dikenal dengan sebutan Eyang Sangkrah. Ia adalah sosok linuwih dalam ilmu kejawen. Eyang Sangkrah memiliki seekor kucing condromowo (bulunya tiga warna) jantan dengan sepasang mata istimewa.
Suatu ketika, sekitar tahun 1928, Desa Pelem dilanda kemarau panjang. Masyarakat desa kesulitan untuk mendapatkan air. Sebagai seorang pemimpin desa, Eyang Sangkrah merasa bertanggungjawab atas nasib penduduknya. Berbagai ritual untuk memohon hujan dilakukan, tapi air tidak kunjung turun.
Eyang Sangkrah merasa kehabisan cara. Dalam kebingungan itu, Eyang Sangkrah mandi di telaga yang berada di desanya. Secara tidak sengaja, saat mandi, kucing jantannya yang selalu ikut ke mana-mana itu bermain air. “Begitu kucingnya main air, selang beberapa saat hujan lebat mengguyur desa ini,” cerita Agus, yang masih memiliki garis keturunan dari Eyang Sangkrah.
Semenjak peristiwa tersebut, masyarakat di desa itu meyakini keampuhan ritual manten kucing. Jika Desa Pelem dilanda kemarau panjang, warga akan menggelar ritual memandikan kucing di telaga tempat Eyang Sangkrah memandikan kucingnya. “Ritual ini tidak setiap tahun kami lakukan, menyesuaikan situasi musim. Dulu ritual ini tidak ada namanya, ya cuma memandikan kucing saja,” jelas Agus.
Seiring perkembangan zaman dan bergantinya generasi, masyarakat setempat menamakan ritual tersebut sebagai manten kucing. Agar suasana lebih meriah, biasanya, masyarakat menambahkan kesenian lokal, seperti tiban dan jidor, untuk mengiringi ritual. Pelaksanaannya pun dikemas dengan nuansa kesenian. Sebelum kucing dimandikan di coban, warga terlebih dahulu mengarak kucing keliling desa. “Ketika menjabat sebagai kades, saya pernah melakukan ritual tersebut pada 2008 lalu,” terang Agus.
Agus pun punya keinginan untuk melestarikan legenda yang sudah diyakini masyarakatnya. Agus kemudian mempromosikan ritual itu kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Tulungagung dan disambut baik. Bahkan ketika ada lomba kesenian di TMII Jakarata, pihaknya dipercaya mewakili Kabupaten Tulungagung untuk menampilkan ritual manten kucing, dan mendapat nilai plus dari sang juri. “Saya angkat kembali legenda itu untuk menarik wisatawan agar mengunjungi coban yang ada di Desa Pelem. Saat ini saya lebih menonjolkan nilai keseniannya terlepas ada atau tidaknya kekuatan magis dalam ritual itu,” tutur bapak empat anak ini.
Belakangan, Pemkab Tulungagung ingin mengukuhkan ritual manten kucing sebagai kebudayaan asli daerah. Pemkab kemudian menggelar festival manten kucing, Senin, tanggal 22 November 2010 lalu, yang diikuti 19 kecamatan. Dalam festival untuk memperingati HUT Tulungagung itu, setiap kecamatan diwajibkan untuk menampilkan ritual manten kucing yang terbaik.
Inilah yang kemudian menjadi masalah, dan dikecam MUI. Sebab dalam festival itu, ada salah satu peserta yang salah mengartikan tradisi manten kucing. Peserta tersebut secara gamblang memvisualisasikan ritual manten kucing layaknya menikahkan manusia, yang dilengkapi dengan kembar mayang, dan ada seorang penghulu yang memandu ijab kabul.
Tampilan yang diperagakan salah satu peserta itu, akhirnya memantik reaksi keras dari ulama. MUI Tulungagung pun mengeluarkan fatwa yang isinya mengecam ritual tersebut karena dianggap melukai hati umat Islam dan berbau syirik.
Seperti yang diungkapkan Sekretaris MUI Kabupaten Tulungagung H Abu Sofyan Sirojudin, AMd. Menurutnya, ritual manten kucing telah melecehkan umat islam. Sebab, istilah manten (nikah) itu berlaku bagi umat manusia, bukan untuk binatang. Dikatakan Sofyan, pihaknya tidak mempermasalahkan jika binatang kucing dijadikan budaya. Akan tetapi, pelaksanaan ritual menikahkan binatang kucing ala manusia itu yang menjadi persoalan. Apalagi, dalam peragaan tersebut, tampak seseorang yang berdandan seperti kiai yang bertugas menikahkan si kucing. Untuk itu, Sofyan meminta panitia pelaksanaan festival manten kucing segera meminta maaf kepada umat Islam.
Terpisah, Kasi Kebudayaan dan Tradisi Dinas Pariwisata Kabupaten Tulungagung, Sri Wahyuni mengatakan, kejadian itu murni salah persepsi dari peserta festival. Menurutnya, sebelum acara digelar, panitia sudah memberikan pengarahan kepada semua peserta, arti dari ritual manten kucing. Pihaknya sendiri tidak tahu ketika acara digelar ada salah satu peserta yang tetap menampilkan ritual manten kucing layaknya menikahkan manusia. “Kami sudah meminta maaf atas kesalahan itu. Hal itu hanya semata-mata kesalahpahaman dari peserta, dan tidak ada maksud untuk melecehkan akidah agama,” terangnya.
Blog kamu keren gan,aku baca terus setiap malam. Jika pengen beli motor area Tulungagung,Kediri,Trenggalek,mampir ke dealerku gan www.guskecil.top
BalasHapus