Tampilkan postingan dengan label merapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label merapi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 November 2010

Nasib Eks Pengungsi Merapi : Yang Penting Ada Garam dan Cabai...

Empat warga bercakap-cakap di teras sebuah rumah di Desa Ngemplakseneng, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, Kamis (25/11/2010) siang. Kegelisahan tampak di wajah mereka saat membahas perpanjangan masa darurat bencana Merapi. Artinya, kesusahan dalam hidup mereka turut diperpanjang.

Mereka adalah Sugeng (45), Minto Wiyono (60), Mulyanto (39), dan pemilik rumah, Kadi Suyono (54). Setelah pulang dari pengungsian, setiap hari mereka berkumpul. ”Mau apa lagi, wong kami masih menganggur,” kata Sugeng.

Keempat warga itu biasa bekerja sebagai buruh serabutan, pekerjaan mayoritas di desa itu. Ada yang ikut menambang pasir, membuat bangunan, atau ikut menggarap sawah.

Sejak Merapi meletus, mereka tidak lagi bekerja karena harus mengungsi dan menyelamatkan keluarganya. Setelah pulang, mereka belum bisa bekerja karena aktivitas ekonomi di desa itu masih lumpuh.

Desa Ngemplakseneng yang berjarak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi, itu sepi. Jalan di desa itu masih berantakan karena pohon-pohon di pinggir jalan yang bertumbangan belum dibersihkan.

Di tengah kondisi seperti itu, Sugeng dan warga lainnya berusaha bertahan hidup. Dengan uang yang masih tersisa, mereka membeli makanan dan menghematnya dengan berbagai cara. ”Jatah makanan dari posko pengungsian sudah habis,” kata Sugeng yang kembali ke rumahnya pada Kamis (18/11/2010). Dia mendapat beras 3 kilogram dan setengah dus mi instan.

Sugeng bersyukur masih mendapat jatah daging kurban Idul Adha. Namun, daging itu hanya cukup untuk disantap selama lima hari. Setelah daging kurban dan jatah dari posko habis, Kadi membeli beras dari uang yang tersisa. ”Kalau satu kilogram beras biasanya buat satu hari, sekarang bisa sampai tiga hari. Pokoknya harus irit,” katanya.

Dia dan keluarganya menyantap nasi dengan mi instan dari posko pengungsian. Setelah mi instan habis, Kadi bingung. ”Sing penting ono uyah karo lombok wis cukup (yang penting ada garam dan cabai sudah cukup),” katanya.

Keadaan sedikit membaik ketika pasukan TNI ditugaskan menjaga desa tersebut. Tentara itu memakai rumah Kadi sebagai pos jaga. Pada saat makan, para tentara itu mengundang beberapa warga untuk makan bersama.

Namun, hal itu hanya berlangsung empat hari sejak Senin (22/11/2010). Setelah itu, anggota TNI itu diperintahkan berjaga di pos di Desa Balerante yang berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi. Mereka meninggalkan rumah Kadi pada Kamis siang itu. ”Wah, kami jadi enggak tahu mau makan apa malam ini,” kata Kadi.

Beban warga bertambah ketika mendapat tagihan listrik. ”Ya belum saya bayar karena saya tidak punya uang,” kata Sugeng yang harus membayar listrik sebesar Rp 30.000 untuk tagihan bulan November.

Kadi juga belum membayar tagihan listrik sebesar Rp 50.500. ”Biar saja, nanti meteran di rumah saya dicabut juga tidak apa-apa,” katanya.

Sugeng dan Kadi juga bercerita bahwa akan ada pasokan beras untuk masyarakat miskin. Namun, mereka harus membayar Rp 4.500 untuk dua kilogram beras. Warga mengeluh karena sepertinya tidak ada keringanan bagi mereka. Semuanya harus dibayar. Saat ini tidak ada bantuan dari pemerintah yang mereka dapat.

Tak Ada Bantuan ,Cari Makan, Warga Nekat Menambang

Ancaman banjir lahar dingin dari Gunung Merapi tak menyurutkan nyali warga untuk menambang pasir. Meskipun material lahar dingin mulai menyentuh alur Kali Woro di Kecamatan Kemalang, warga terus menyerbu. Pasalnya, mereka tidak mendapat bantuan atau jaminan hidup seperti yang didengungkan pemerintah.

”Pulang dari pengungsian makan nasi lauk garam. Uang tidak ada, jadi terpaksa menambang lagi,” ungkap Jinu, warga Dusun Narum, Desa Tlogowatu, Kecamatan Kemalang, Klaten, Kamis (25/11), saat ditemui di alur Kali Woro, Desa Kendalsari, Kecamatan Kemalang.

Dikatakannya, warga sepulang dari barak ada yang diberi bekal mi dan beras sedikit. Setelah digunakan mencukupi kebutuhan keluarga sehari langsung ludes. Sehingga untuk menyambung hidup, warga nekat ke sungai.

Meski ancaman letusan dan banjir lahar mengadang, warga tidak punya pilihan lain. Pergi ke tegalan tidak lagi ada yang bisa diharapkan, sebab tanaman dikotori abu vulkanik. Untuk menjual pohon bagi yang sudah usia tebang hanya bisa dilakukan bagi yang punya pohon.

Ada sebagian warga yang meminjam uang ke tetangga atau kerabat, tetapi tetangga dan kerabat sama nasibnya. Dengan kondisi itu warga tidak punya pilihan lain, selain menambang pasir di jarak rawan. Meski nekat, kata dia, warga tetap waspada dan penambangan hanya berlangsung sampai siang, meskipun sebelum meletus berlangsung 24 jam.

Menurut Mitro, warga Desa Kandalsari, dia nekat membuka warungnya yang ada di tengah kali, sebab kepepet untuk mencari makan. ”Katanya ada bantuan di desa lain, tetapi tidak merata,” ungkapnya.

Tak Tersentuh

Bantuan sembako setelah warga pulang memang ada, tetapi yang mendapatkan hanya orang tertentu. Warga di daerah terpencil tak tersentuh. Selama empat hari pulang ke rumahnya, dari desa atau Pemkab tak ada droping kebutuhan pokok. Padahal warga sangat membutuhkan di saat aktivitas belum pulih. Satu-satunya harapan warga hanyalah ke sungai mencari pasir.

Bagaimana dengan jaminan hidup? Dia mengaku belum mendengar ada sosialisasi jaminan hidup. Bahkan warga tidak terlalu berharap dalam waktu dekat, sehingga yang penting bisa memenuhi kebutuhan. Nekatnya warga ke alur sungai semakin memancing kedatangan truk pancari pasir.

Meski batas zona rawan dijaga ketat Polri/ TNI, truk pencari pasir mencari jalan-jalan tikus digunakan agar lolos. Tak hanya truk lokal, truk dari luar kota mulai menyerbu meski radius 10 km masih dinyatakan berbahaya. Bahkan anggota Polres Klaten yang datang ke lokasi meminta warga naik, tetap tak digubris.

Saat polisi datang warga pergi, tetapi setelah petugas pergi warga kembali. Kondisi alur Kali Woro sendiri mulai diwarnai material lahar dingin. Meski ketebalannya belum mencapai setengah meter, tetapi material lahar dingin berupa pasir halus sudah menjangkau Kali Woro.

Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas, Sri Winoto SH mengatakan, status Gunung Merapi masih level awas dan masa tanggap darurat diperpanjang. Mestinya semua aktivitas warga dalam radius 10 km harus steril. ”Alur Kali Woro merupakan jalur utama lahar dingin, sehingga harus bersih dari aktivitas sesuai radiusnya,” ungkapnya.

Pemkab sendiri kewalahan mengatasi praktik penambangan. Penambangan yang memegang izin menurutnya bisa dikenakan sanksi, tetapi penambangan tradisional tidak mungkin dilakukan. Pemkab hanya bisa mengawasi dan mengimbau selama status awas.

Menurut Kabag Perekonomian, Drs Sri Sumanto, di Pemkab ada sisa logistik yang bisa digunakan. Pemkab akan mengirim bahan kebutuhan dengan membuat ajuan diketahui camat. Pemkab sudah mendrop bahan kebutuhan yang diperlukan warga terutama bahan yang tidak tahan lama. ”Desa bisa melapor ke camat dan akan didrop,” ungkapnya.


http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/25/71399/Tak-Ada-Bantuan-Warga-Serbu-Kali-Woro

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/25/71482/Cari-Makan-Warga-Nekat-Menambang

Pulang dari Pengungsian Beras, Habis Warga Makan Bekatul

Kondisi sulit yang menimpa warga lereng Merapi membuat mereka tak keberatan makan apa saja, termasuk bekatul. Hal ini dialami warga Dusun Gondang, Desa Paten, Kecamatan Dukun seusai mereka pulang dari lokasi pengungsian.

Menurut Teguh Dwi Riyadi (33), tokoh pemuda Dusun Gondang, bekatul merupakan ampas penggilingan padi. Bahan ini biasanya digunakan untuk campuran pakan ternak. Namun dengan pengolahan tertentu, bekatul ini bisa menjadi sumber makanan warga untuk menggantikan beras.

Dijelaskan, warga Gondang sudah tidak memiliki persediaan beras lagi. Hal ini karena lahan pertanian milik warga rusak total setelah tertimbun material vulkanik Merapi. Baik padi maupun sayuran semua hangus dan tak bisa dipanen.

“Lumayan Mas untuk mengganjal perut yang lapar. Sebenarnya kalau mau enak tinggal di pengungsian saja karena apa-apa sudah dicukupi. Namun kami juga harus memikirkan masa depan kami. Kami harus mulai menggarap sawah lagi,” kata dia saat menerima bantuan logistik dari relawan PKS Jateng.

Warga dibantu satu mobil bantuan berisi beras, susu, makanan bayi dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Di dusun ini setidaknya ada 450 KK dengan 1.473 jiwa di mana mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. “Sekarang semua hasil pertanian sudah rusak. Paling cepat butuh tiga bulan untuk bisa mengembalikan kondisi lahan seperti dulu. Makanya kami mulai dari sekarang,” kata Teguh.

Humas relawan PKS Jateng, Agung Setia Bakti mengatakan, pihaknya langsung turun ke lapangan ketika mendengar laporan ancaman kelaparan penduduk yang telah pulang kampung. “Penduduk yang pulang ke rumahnya harus juga segera dipikirkan penangananya. Jangan sampai bencana Merapi berlanjut menjadi bencana ekonomi,” terang Agung.


Pemkab Bantah Ada Warga Makan Bekatul

Pemkab Magelang melakukan investigasi terhadap informasi warga Dusun Gondang, Desa Paten, Kecamatan Dukun, yang makan bekatul (SM CyberNews, 24/11), mulai dari masyarakat sampai aparat kecamatan.

Dalam siaran persnya hari ini, Kabag Humprot Drs Djanu Trepsilo MM mengemukakan, Gondang termasuk rawan bencana Merapi. Tetapi Teguh Dwi Riyadi, warga Gondang menolak mengungsi dengan alasan keamanan harta benda rumah mertuanya, Sutar, imam masjid Gondang. “Saat Merapi erupsi, mertuanya mengungsi ke Magersari, Magelang. Sedangkan Teguh tetap kerja sebagai penyiar Radio Pop FM Jogja, sehingga tak mungkin tiap hari dia makan bekatul,” simpulnya.

Dari keterangan Kades Paten Bambang Suherman, sedikitnya empat warga yang menolak mengungsi dengan alasan menjaga keamanan dusun.

Terkait dengan bekatul, kebanyakan masyarakat desa itu memang memiliki stok bekatul yang cukup banyak untuk pakan sapi dan ayam. Selama Merapi erupsi, memang ada beberapa warga, terutama pemuda yang pulang, untuk mengurus ternak serta lahan pertanian. “Berusaha menyelamatkan sisa-sisa panenan yang terkena abu vulkanik,” ujarnya.

Mereka pulang untuk itu, atas izin aparat atau pengelola TPS/TPA (Tempat Pengungsian Sementara/Tempat pengungsian Akhir) dengan membawa bekal dari tempat pengungsian serta pulang lagi ke pengungsian pada tengah hari. Sehingga tidak mungkin mereka makan bekatul. “Tidak benar ada pengungsi dari Paten makan bekatul, karena semua ditangani dengan baik oleh pengelola TPS/TPA di 14 titik, di Kecamatan Mungkid, Borobudur dan Mertoyudan,” tandas Camat Dukun, Ali Setyadi BA.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/24/71397/Pulang-dari-Pengungsian-Warga-Makan-Bekatul

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/25/71435/Pemkab-Bantah-Ada-Warga-Makan-Bekatul

Selasa, 23 November 2010

Kisah Letusan Merapi dalam Babad Ngayogyakarta

Letusan Gunung Merapi hampir serupa kejadiannya dengan letusan yang terjadi tahun 1822. Babad Ngayogyakarta mengisahkannya dalam keindahan tembang sinom. Diceritakan , letusan Merapi selama tiga bulan diikuti letusan di Gunung Bromo, Kelud, Slamet, dan Guntur.

Salelebete tigang warsa, wusnya murup Ardi Mrapi. Tumunten ing Ardi Brama, Redi Kelut genti muni, tri Gunung Slamet muni, kang sekawan Redi Guntur. Pating jeglug swaranya. Punika kang mertandhani, badhe hoyag wong sanagri Pulo Jawa…”

Naskah kuno Babad Ngayogyakarta mencatat, letusan Gunung Merapi itu pada 30 Juni 1822. Letusan Gunung Merapi terjadi sebelum pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830). Babad Ngayogyakarta menyebut, letusan itu tanda akan terjadi kerusakan negara yang diikuti perang besar di Yogyakarta.

Letusan kala itu dirasakan penduduk Pulau Jawa karena kerasnya suara letusan dan panasnya lelehan lava. Kisah letusan Gunung Merapi tercatat dalam tiga bait naskah Babad Ngayogyakarta koleksi Museum Sonobudoyo, yang saat ini diteliti peneliti di Perpustakaan Pura Pakualaman.

Peneliti di Perpustakaan Pura Pakualaman, Rahmat, mengatakan, Babad Ngayogyakarta mengemas sejarah dalam bentuk sastra dari masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono II hingga HB V. Cerita sisipan tentang letusan Gunung Merapi yang digambarkan sangat mengerikan itu terjadi pada masa pemerintahan HB IV.

Rahmat mengaku menemukan bait-bait kisah letusan Gunung Merapi ini justru ketika Gunung Merapi mulai kembali meletus sejak akhir Oktober lalu. ”Dari Babad Ngayogyakarta, kita bisa belajar sejarah letusan Gunung Merapi di masa lalu,” kata Rahmat, Kamis (18/11).

Sebelumnya, Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X juga sempat menyinggung erupsi Gunung Merapi di tahun 1822. Menurut Sultan, tipe letusan eksplosif Gunung Merapi saat ini serupa dengan peristiwa sebelum Perang Diponegoro itu. ”Letusannya sama sekali beda dengan yang diingat masyarakat sehingga tidak dipahami,” kata Sultan.

Tak hanya Babad Ngayogyakarta, menurut Pengelola Perpustakaan Pura Pakualaman Sri Ratna Saktimulya, letusan Gunung Merapi juga dikisahkan dalam Babad Panembahan Senopati koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman. Letusan yang dikisahkan dalam Babad Panembahan Senopati itu terjadi sesaat menjelang peperangan melawan Kerajaan Pajang.

Catatan ilmiah

Journal of Volcanology and Geothermal Research tentang Sejarah Erupsi Gunung Merapi, Jawa Tengah, Indonesia 1768-1998 yang ditulis B Voight, EK Constantine, S Siswowidjoyo, dan R Torley juga menyebut letusan dahsyat tahun 1822 hingga 1833. Jurnal tersebut mencatat letusan itu tidak terduga dan diikuti gempa bumi dalam durasi yang lama.

Beberapa letusan bahkan disebutkan sangat menakutkan. Ketika Gunung Merapi bergemuruh, batu-batu terlempar ke udara.

Pada 29 Desember 1822 dicatat, api dari Gunung Merapi terlihat menutupi separuh bagian dari Gunung Merapi. Journal of Volcanology and Geothermal Research menyebutkan, erupsi berakhir pada 10 Januari 1823 setelah menghancurkan delapan desa.

Tak ada sesuatu pun yang baru di bawah matahari. Ketika manusia berani menengok ke belakang dan belajar dari sejarah, keterkejutan akibat letusan Gunung Merapi sebenarnya tidak perlu terjadi. Dari masa lalu, lewat tembang sejarah hingga jurnal penelitian modern, pemahaman terhadap Gunung Merapi bisa dibangun.

Mudah-mudahan tak ada lagi korban pada masa mendatang

Selasa, 02 November 2010

Ponimin Koq Bisa Selamat ?

masih dalam proses penulisan
Nama Ponimin moncer setelah GKR Hemas sempat mendengarkan ceritanya dan kemudian 'menawari'-nya sebagai pengganti Mbah Maridjan. Ponimin mengaku selamat dari amukan wedhus gembel dengan berlindung di bawah mukena istrinya sembari berpegangan dengan Alquran. Itulah klaim Ponimin (50) yang berbau mistis saat menyelamatkan diri dari awan panas. apa bener seperti itu kejadiannya, mari kita coba bikin analisa yang lebih mudah dinalar.
Rumah ponimin ini terletak di desa kaliadem, sekitar 500m di sebelah timur rumah mbah Marijan.
ibarat jalur kereta, rumah milik Ponimin itu tidak berada di tengah rel, melainkan di pinggirnya saja. Jadi ketika awan panas datang, karena rumahnya berada di pinggir jalur wedhus gembel, jadi hanya kena anginnya saja, kalau kena awan panas langsung nasibnya pasti juga seperti yang lain (meninggal), jadi secara ilmiah yaitu rumah tempat berlindung Ponimin relatif aman dari wedhus gembel.
Kondisi ini juga terlihat dari rumah di sekitar Ponimin yang juga tidak mengalami kerusakan parah, karena memang kawasan tempat tinggal dia hanya kena angin wedhus gembel saja. Tidak seperti Desa Kinahrejo yang dihuni Mbah Maridjan yang luluh lantak.

faktor lainnya segera diselamatkan tim SAR.

Kamis, 28 Oktober 2010

Rumah Mbah Maridjan dan wedus gembel

Banyak yang bertanya-tanyi “Mengapa rumah penunggu Gunung Merapi, mBah Maridjan pun bisa tersapu awan panas, padahal sudah sejak beliau lahir tempat tinggalnya aman-aman saja ?“.

Kali ini saya coba memberi gambaran bukan dari sisi klenik dan metafisik., tapi berdasarkan pengamatan bentang alam daerah seputar Gunung Merapi, terutama sekitar Rumah Mbah Maridjan.

Rumah Mbah Maridjan terletak di lereng selatan Gunung Merapi, berada pada dusun Kinahrejo yang berjarak sekitar 4.5 Km dari puncak merapi.

Rumah Mbak Maridjan berada pada sebuah punggungan bukit yang memanjang. Disebelah timurnya ada (bekas) taman wisata Kali Adem, sedangkan disebelah baratnya ada tempat wisata Kaliurang. (Bekas) Taman wisata Kaliadem ini terkena wedus gembel pada tahun 2006 lalu.

Sebelum tahun 2006, luncuran awan panas hampir salalu mengarah ke barat akibat morfologi puncak merapi, dimana dibagian barat terdapat lubang, sedangkan bagian timur terdapat dinding. Disebelah selatan ada sebuah batu besar yang disebut Gegerboyo (punggung buaya), karena mirip dengan punggungan buaya. Pada tahun 1994, awan panas pernah melanda sebelah timur Lokasi Wisata Kaliurang. Namun secara umum luncuran awanpas Gunung Merapi ini mengarah ke barat.

Ketika terjadi gempa jogja pada 27 Mei 2006 terjadi gempa Jogja dengan kekuatan magnitude hingga 6.3 diduga sebagai penyebab runtuhnya dinding selatan atau runtuhnya Geger Boyo. Keruntuhan geger boyo ini menyebabkan luncuran awanpanas pada erupsi tahun 2006 mengarah ke selatan. Luncuran awan panas pada tahun 2006 ini mengarah keselatan setelah runtuhnya Gegerboyo. Luncuran awanpanas ini mengenai bukit dan berbelok sedikit kebarat kemudian menuju kebawah hingga menutup bunker yang menelan dua korban jiwa.

Luncuran awanpanas 2010

Tahun 2010 ketika terjadi luncuran tentusaja daerah rendahan yang sebelumnya dipakai untuk lewatnya awanpanas terisi oleh material-material yang terbawa tahun 2006, juga hasil endapan lahar yang terangkut oleh air hujan. Sehingga menyebabkan jalur tempat luncuran sebelumnya menjadi “terisi” dan dangkal.

Karena topografi serta morfologi bentuk alurnya berubah tentusaja aliran awanpanas juga berubah mengikuti jalur yang lain. Sangat naas bagi daerah Dusun Kinahrejo, yang sebelumnya aman menjadi jalur aliran debu ujung dari awan panas ini. Hal inilah yang menyebabkan mengapa jalur luncuran awanpanas 2010 berbeda dengan jalur tahun 2010.

Awan panas pada dasarnya terisi oleh material campuran pasir, batu, kerakal, kerikil, pasir hingga debu volkanik. Setiap aliran awanpanas didalamnya terdapat material piroklastik terisi oleh material campuran pasir, batu, kerakal, kerikil, pasir hingga debu volkanik memiliki volumenya hingga jutaan meterkubik. Material ini akan mengisi jalur-jalur ini sehingga menyebabkan alurnya berubah. Ketika ada luncuran berikutnya tentusaja akan mengikuti pola airan yang “baru”, dan tidak mengikuti aliran yang lama.

BERUBAH !

Pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa ini adalah, alam itu selalu berubah sehingga manusia harus ikut bersama-sama alam berubah supaya tidak terkejut adanya perubahan-perubahan yang mungkin akan mengancam dirinya.

Waspadai: Jarak Luncur Erupsi Merapi Bisa Mencapai 15 km

Tahun 2010 ini Kemungkinan arah erupsinya belum ada peta yang dipublikasikan oleh Badan Geologi. Hal ini mungkin karena morfologi Gunung Merapi sudah banyak berubah akibat letusan tahun 2006.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Tehnologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menyatakan perlu mewaspadai tiga jalur arah erupsi Merapi tahun 2010 ini pasca dinaikkannya status aktivitas gunung tersebut dari Waspada menjadi Siaga, Kamis malam kemarin. Ketiga jalur arah erupsi tersebut adalah ke Barat Daya, Selatan dan ke arah Tenggara.

Pada erupsi 2006 jarak luncur mencapai tujuh kilometer dari puncak Gunung Merapi. Tetapi untuk setiap peningkatan aktivitas Gunung Merapi tidak menutup kemungkinan erupsi yang terjadi mencapai jarak luncur hingga 15 kilometer.