Senin, 29 Maret 2010

Demonstransi dan Kerbau

Demonstrasi 28 Januari 2010 silam terbilang cukup ‘istimewa’. Kehadiran kerbau SiBuYa dalam demonstrasi 100 hari kerja pemerintah SBY menjadi polemik. Demonstran yang membawa kerbau dengan tujuan menyindir SBY yang selama ini terkenal lamban menuai aksi curhat dari pak Presiden. Curhat kesekian kali SBY ini disampaikan pada sambutan pertemuan menteri dan gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.

“Di sana ada yang teriak-teriak SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling. Ada juga demo yang bawa kerbau. Ada gambar SBY. Dibilang, SBY malas, badannya besar kayak kerbau. Apakah itu unjuk rasa? Itu nanti kita bahas,” – Presiden SBY –

Ada beberapa hal yang saya setuju dengan apa yang disampaikan presiden SBY sebagai tanggapan aksi demonstrasi 28 Januari 2010.Unjuk rasa merupakan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Unjuk rasa semestinya menjadi wahana partisipasi dan kreativitas setiap warga negara dalam membangun kehidupan negara yang berdemokrasi. Sebagai wahana terakhir masyrakat untuk memberi masukan kepada pemerintah, selain melalui ajang rapat umum, diskusi atau pawai.

Kebebasan dalam unjuk rasa ini hendaknya bertanggungjawab, menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, dilaksanakan secara damai dengan tetap menjaga keutuhan bangsa. Dan dalam hal ini, pemerintah atau objek yang menjadi sasaran demonstrasi hendaknya merespons setiap unjuk rasa dengan bijak dan merakyat. Tanpa kritik, maka akan memberi ruang bagi pemerintah menjadi otoriterian.

Disini, demonstran yang meneriakin seorang pejabat negara dengan kata maling tanpa ada bukti yang jelas, tentu merupakan unjuk rasa yang tidak bertanggungjawab. Demonstran tersebut telah melangkah terlalu jauh menvonis seseorang. Ini adalah perilaku main hakim sendiri. Lebih jauh, tuduhan maling tanpa bukti merupakan fitnah. Dan tentunya, demonstrasi seperti ini jauh dari etika kepantasan dan kesantunan, terlebih dalam kultur timur, dengan ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup negara.

Aksi demonstrasi yang tidak bertanggungjawab ini sesungguhnya dapat menurunkan nilai positif dari kemerdekaan atau kebebasan berpendapat. Perilaku demonstrasi menjadi pelik tatkala pemerintah hampir tidak pernah mendengar aspirasi para demonstran yang berdemo dengan santun. Hal-hal substansial dalam demo yang santun kurang ditangkapi. Dan parahnya media massa seperti TV justru menayangkan aksi dorong-mendorong antara polisi dan demonstran, bukan isi orasi dari demonstran.

Lebih jauh daripada itu, pesan-pesan demonstran seperti reformasi birokrasi, penangangan pasar bebas ASEAN-China, pembentukan UU pembuktian terbalik, pembangunan infrastruktur tepat berjalan mandeg bahkan tidak masuk dalam prioritas program. Sebagian demonstran pada hakikatnya ingin mempertanyakan janji-janji yang disampaikan capres SBY-Boediono kepada rakyat Indonesia. Janji bahwa pro-rakyat, mengatur anggaran negara untuk kepentingan rakyat dan efisiensi hanyalah janji-janji angin surga.

Bukannya menghemat anggaran untuk dialihkan kepada program lebih urgen, pemerintah justru mengadakan mobil dinas mewah, renovasi rumah anggota DPR RI Rp 700 juta (total Rp 392 miliar), pengadaan laptop super mewah anggota dewan Rp 16 juta per unit (total Rp 9 miliar), hingga pembuatan pagar istana super mahal seharga Rp22 miliar dan rencana pembelian pesawat Boeing VIP seharga Rp 700 miliar. Belum lagi keinginannya untuk menaikkan gaji para pejabat negara.

Dari sinilah, mestinya presiden SBY menanggapi hal substansi asprirasi demonstran, baru menanggapi demonstran yang tidak sopan dalam satu paket. Bila presiden hanya begitu serius menanggapi kebo “SiBuYa” yang secara eksplisit menyinggung bapak presiden, maka publik akan bertanya mengapa pak Presiden tidak menegur/sanksi kepada sikap/perbuatan Ruhut Sitompul?

Akhir kata, saya tidak ingin jika kepala negara kita, para pejabat kita yang tidak terbukti secara hukum melakukan tindakan pidana, dihina-hina atau divonis sebagai seorang kriminal. Penghinaan atau penyebutan maling kepada pejabat negara tanpa bukti merupakan ucapan yang sama sekali tidak layak, tidak pantas dan jauh dari etika. Begitu juga demonstrasi tanpa tujuan, yang hanya melakukan aksi karena dibayar merupakan aksi yang menjijikan. Kita berharap, para demonstran benar-benar memperjuangankan aspirasinya secara murni demi sebuah kebenaran. Sementara, kita berharap pemerintah mau mendengar aspirasi rakyat melalui sarana demonstrasi, sebuah alat bagi rakyat untuk berbicara kepada ’sang raja’ demi perbaikan dan kemajuan bangsa.

Hebaaatttt..... Indonesia Negara Terkorup Asia Pasifik

Ditengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi yang positif pada tahun 2009 silam, ternyata Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Itulah hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong . Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.

Berikut ini adalah daftar 16 Negara Terkorup di Asia Pasifik* oleh PERC 2010

  1. Indonesia (terkorup)
  2. Kamboja (korup)
  3. Vietnam (korup)
  4. Filipina (korup)
  5. Thailand
  6. India
  7. China
  8. Taiwan
  9. Korea
  10. Macau
  11. Malaysia
  12. Jepang
  13. Amerika Serikat (bersih)
  14. Hong Kong (bersih)
  15. Australia (bersih)
  16. Singapura (terbersih)

2008

Hasil survei PERC ini menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup 2010. Ini berarti selama 2 tahun terakhir pemerintah SBY, Indonesia mendapat citra semakin memprihatinkan dalam hal tindakan hal korupsi. Pada tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan nilai tingkat korupsi 7.98 setelah Filipina (tingkat korupsi 9.0) dan Thailand (tingkat korupsi 8.0).

2009

Angka tingkat korupsi Indonesia semakin meningkat ditahun 2009 dibanding tahun 2008. Pada tahun 2009, Indonesia ‘berhasil’ menyabet prestasi sebagai negara terkorup dari 16 negara surveilances dari PERC 2009. Indonesia mendapat nilai korupsi 8.32 disusul Thailand (7.63), Kamboja (7,25), India (7,21) and Vietnam (7,11), Filipina (7,0). Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Sementara Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.

Jadi, dari data PERC 2010, maka dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. “Prestasi” dashyat ini bukanlah hal yang mengejutkan. Apabila Pak SBY selama ini suka mengklaim keberhasilan tindakan pemberantasan korupsi KPK seolah-olah kinerja pemerintahannya, maka kasus kriminalisasi pimpinan KPK (Bibit dan Chandra) setidaknya telah menurunkan kepercayaan pengusaha atas hasrat pemerintah bersama jajarannya dalam memberantas korupsi.

Ini juga memberi bukti bahwa tidaklah elok pemerintah SBY mengklaim keberhasilan KPK sebagai keberhasilan pemerintah SBY. Karena sumber terbesar permasalahan korupsi masih berada dalam kekuasaan Presiden SBY yakni lembaga Kepolisian dan Kejaksaan. Belum lagi tindakan koruptif yang dilakukan oleh sejumlah pejabat pemerintah di berbagai instansi baik di pusat maupun daerah serta korupsi berjam’ah anggota legislatif dan kehakiman.

Selain KPK, selama ini pemberantasan korupsi berjalan ditempat, bahkan semakin mengganas di daerah-daerah. Hanya beberapa instansi pemerintah yang menerapkan kebijakan non-koruptif yang tegas, sementara mayoritas instansi lain masih mengasah ‘kemahiran’ dalam merekayasa anggaran.

Secara regional pemberantasan korupsi Indonesia berjalan mandeg dibanding negara-negara tetangga. Salah satu permasalahan utama adalah reformasi birokrasi yang berjalan mandeg. Reformasi birokrasi di pemerintahan dan lembaga penegak hukum sekilas hanya lips service semata. Tidak ada perubahan mendasar, kecuali perubahan dikulitnya.

Derap langkah penegakkan hukum di Indonesia seakan terhenti. Hal itu salah satunya dikarenakan masih banyaknya prilaku koruptif yang ditonjolkan pejabat Indonesia. Hal ini dikarenakan birokrasi penegakkan hukum di Indonesia yang masih buruk. Sehingga memberi peluang para pejabat untuk melakukan korupsi. Dan ironisnya, belum ada satu pun Presiden yang mampu memperbaikinya, termasuk Pres. SBY. Inilah kenapa korupsi banyak terjadi bahkan menjamur di berbagai level.

Catatan akhir :

Dalam berbagai event, kita sangat mengharapkan dapat meraih peringkat nomor satu. Namun prestasi yang satu ini sangat memalukan, karena Indonesia berdiri nomor 1 sebagai negara terkorup dari 16 negara dengan ekonomi sentral kawasan. Sudah saatnya, segenap bangsa mulai bercermin diri. Mulai memperbaiki diri, memperbaiki birokrasi, memperbaiki mental. Karena sesungguhnya, bukanlah tindakan korupsi itu berbahaya, namun yang lebih berbahaya adalah mental korup itu sendiri. Korup mulai dari materi, waktu, hingga integritas.

bila mengcoyp, mohon sertakan Link ke artikel ini:


Jumat, 26 Maret 2010

Contribution of science and technology to agriculture


The research achievements in hybrid rice of scientist Yuan Longping, internationally regarded as the "father of hybrid rice," rewrote the history of rice cultivation in China in the second half of the 20th century. In 2003, Yuan Longping made a breakthrough in bilinear hybrid rice research. In two small demonstration fields, the per-hectare yield of super-class hybrid rice reached 12,112 kg and 12,261 kg and now large scale trials of this super-class hybrid rice are being conducted. Yuan Longping's next goal is to produce super-class hybrid rice with a yield in excess of 13,500 kg per ha before 2008.

Government programs play a significant role in improving sci-tech knowledge by conveying advanced sci-tech achievements to the countryside and to every rural household; examples include the Spark Program, the Promotion of Important Achievements Plan, the Bumper Harvest Plan, and the Prairie Fire Program.

http://english.gov.cn/2006-02/08/content_182620.htm

Senin, 15 Maret 2010

Berfikir Positif Setelah Perceraian

Kehidupan yang dijalani setelah perceraian memang sangat berat. Anda yang terbiasa berada dalam satu atap bersama pasangan terpaksa harus terpisah. Keluarga yang dulu utuh menyeluruh harus terbelah. Namun dibalik ujian berat ini Anda yang menghadapi masa-masa sulit setelah perceraian harus tetap berpikir dan bersikap positif.

Memang perceraian terkadang menimbulkan rasa malu atas aib yang tercoreng dalam rumah tangga. Ini seperti sebuah kegagalan dalam satu proyek terbesar hidup Anda. Tentu saja jika ini tak diantisipasi akan sangat menyakitkan dan mengganggu hidup Anda yang harus berlanjut setelah perceraian.

Butuh banyak tahap emosional untuk melewati perasaan-perasaan ini dan merasa lebih baik lagi. Saya yakin Anda akan mampu melewati itu semua. Dan inilah sepuluh alasan mengapa Anda harus tetap merasa positif setelah bercerai. Semoga hal ini bisa membantu Anda

Hadapi kenyataan

Saat masa kanak-kanak, terkadang kita bersama-sama teman sepermainan bermain 'keluarga-keluargaan'. Ada yang berperan sebagai ayah, ibu dan anak-anak. Hal ini secara diam-diam membentuk pada pemikiran kita di masa depan tentang konsep keluarga yang utuh. Namun tak dipungkiri Anda malah dihadapkan pada realitas yang membuat impian keluarga utuh yang diharapkan ternyata tak bisa terwujud.

Realitas ini meliputi fakta kehidupan bahwa setiap orang mempunyai pemahaman yang berbeda tentang sebuah pernikahan. Rasa cinta pasangan terhadap Anda yang sudah habis pun tak bisa membuat Anda memaksakan cinta. Daripada Anda fokus pada pernikahan yang gagal, lebih baik Anda menguatkan diri untuk tetap bertahan melawan 'badai' setelah perceraian.

Pembuktian diri
Bercerai bukanlah hal yang mudah, semudah mengajukan permintaan berpisah dan semuanya akan berjalan baik-baik saja. Jangan kaget jika setelah bercerai, Anda akan dicap terkesan egois dan jahat karena Anda seperti tak peduli perasaan anak-anak dan keluarga. Namun dalam proses hidup yang berjalan, Anda harus tetap percaya diri dan menunjukkan bahwa Anda berani mengambil sikap untuk menjalani kehidupan meski tanpa pasangan. Bahwa keputusan Anda bercerai adalah yang tepat dan terbaik untuk semua. Saya yakin seiring berjalannya waktu, orang-orang di sekitar Anda akan mulai belajar memahami keputusan Anda itu.

Life must go on
Tak dipungkiri kehidupan setelah perceraian akan dirasa berat secara emosional, finansial dan sosial. Namun trauma setelah perceraian menghantui kehidupan dan hal ini membuat Anda ragu melangkah. Jangan pernah takut. Memulai hidup baru setelah perceraian adalah perubahan ke arah positif. Temukanlah diri Anda yang sempat 'menghilang', dan Anda punya hak sepenuhnya untuk bisa menikmati hidup menjadi lebih bahagia.

Anything is Possible
Perceraian yang dihadapi terkadang memaksa Anda untuk menjalani hari buruk yang sangat kejam. Namun percayalah hari baik pun pasti akan menghampiri Anda. Jangan kekang diri Anda dalam keterpurukan, Anda pantas mendapatkan kebahagiaan. Tunjukkan sisi diri Anda yang positif menjalani hidup dan semua akan indah pada waktunya.

Keluarga dan teman yang terbaik
Apapun yang terjadi setelah perceraian, jangan pernah lupakan keluarga dan teman. Merekalah yang selalu ada dan memberikan semangat serta perhatian tulusnya kepada Anda di saat-saat menjalani hari-hari berat pasca perceraian. Luka Anda mungkin belum sembuh betul pasca perceraian tapi keberadaan mereka yang melingkupi kehidupan Anda akan membantu Anda menyembuhkan luka itu.

Looking Good
Setelah perceraian, sebuah transformasi tentu tidak dapat dihindari. Namun itulah sesuatu yang diharapkan, perubahan ke arah yang lebih baik. Pasca perceraian Anda mungkin dihadapkan pada hari-hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan yang membuat hidup Anda seperti tidak berguna. Tampillah all out, tunjukkan bahwa Anda lebih baik dari sebelumnya. Kuncinya adalah dengan menemukan kebahagiaan batin dan kekuatan untuk tetap survive. Katakan pada diri sendiri bahwa Anda adalah nyata, seksi dan percaya diri.

Melepas beban
Jika ingin memberikan yang terbaik bagi hidup Anda, jangan pernah buang-buang waktu larut dalam kebencian dan kemarahan. Hal itu justru merusak diri Anda sendiri. Lepaskanlah beban yang memberatkan pundak dan langkah Anda. Berbagi cerita dengan teman-teman, akan sedikit melegakan nafas hidup Anda yang disesaki banyak permasalahan pasca perceraian. Bersenang-senanglah 'melepaskan' beban itu dan ucapkanlah selamat tinggal pada masa lalu kehidupan pernikahan Anda dulu.

Menikmati perasaan lega
Ini masih terkait dengan poin sebelumnya 'melepas beban'. Ada kelegaan jika kita mau berusaha melepas beban atas masalah yang terjadi pasca perceraian. Apapun itu yang telah terjadi dan dialami sekarang adalah pembelajaran untuk lebih baik dan menjadi dewasa. Anda bisa mulai semuanya dari awal lagi, meski Anda harus berjuang sendiri untuk bangkit dari keterpurukan. Dengan kelegaan yang melingkupi hidup Anda, pasti Anda bisa optimis melewati proses recovery yang berjalan.

Menjaga perasaan anak-anak

Meski telah berpisah dengan pasangan, anak-anak tetaplah menjadi tanggung jawab Anda dan pasangan. Hati mereka yang terluka atas perpisahan kedua orangtuanya jangan sampai terabaikan. Sakit mereka mungkin saja karena dilabeli sebagai anak dari keluarga 'broken home', keluarga yang gagal.

Sebagai orang tua yang bijak, Anda bersama pasangan wajib memberikan contoh yang baik bagi putra-putri Anda yang harus terima menghadapi perceraian kedua orang tuanya. Tetaplah menjaga dan membina hubungan baik antara Anda dan anak-anak akan makin menguatkan yang telah pernah retak. Ingat, tak pernah ada istilah mantan ayah atau mantan ibu. Tunjukkan bahwa Anda dan pasangan tetap saling mendukung dan kompak di depan anak-anak meski Anda berdua sudah tak lagi terikat. Kedekatan yang tetap tercipta ini bagus untuk membangun mental mereka agar lebih kuat menghadapi permasalahan hidup.

See the future

Jangan pernah melihat ke belakang, itu hanya akan membuat Anda terluka. Pasang saja spion pada kemudi hidup Anda, jadi sewaktu-waktu Anda 'dipaksa' melihat ke belakang, Anda cukup melirik di balik kaca spoin di samping kemudi. Jadikanlah masa lalu sebagai pembelajaran hidup Anda agar lebih baik dan lebih bijak. Tak perlu membuka luka lama, karena hidup di depan sudah menunggu Anda untuk dijalani. Optimislah!

Siapapun tak menginginkan perpisahan atau perceraian. Namun jika itu harus dihadapi, hadapilah dengan hati tegar. Percayalah, transisi perceraian ini bisa sangat bermanfaat. Hubungan yang sudah tak lagi bisa dipertahankan hanya akan menjadi racun dan duri dalam hidup Anda, dan ini justru menahan mimpi dan memenjara ekspresi diri.

Bijaknya, Anda bisa mengambil sisi positif dari perpisahan ini. Anda akan semakin terasah untuk lebih peka terhadap keinginan pasangan dan apa yang Anda inginkan dari kehidupan. So, perceraian bukanlah akhir dari hidup Anda, ladies!

Senin, 08 Maret 2010

Indonesian Police Raid Terror Group in Aceh

The Indonesian police arrested three persons in Aceh on Tuesday thought to have ties to the late JI terrorists Imam Samudra and Noordin Top. The three were detained following a firefight in the jungles of Aceh Besar district. In addition, one local resident was killed and his son injured as a result of the crossfire. Two of the suspects are from Pandeglang district, Banten province. The third was from Aceh. The raid lasted fourteen hours and involved 100 police officers.

The police announced that they had been watching the group since September 2009 after locals reported paramilitary-style training in the jungle. In the raid, the police confiscated a Malaysian Army uniforms, knives, a telescope, and a large amount of cash. There was no initial mention of any firearms captured from the suspects. The police believe that the three detained suspects are part of a larger group of 50 who often hold military drills at a number of jungle camps across Aceh.

By Kenneth Conboy

February 23, 2010 08:03 PM

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Februari, dan sudah diposting di sebuah situs amerika pada tanggal 23 februari, lihatlah betapa cepat informasi ini sampai ke tangan mereka. Informasi dalam tulisan ini juga demikian detil, darimanakah sumbernya ?..

Assessing the Militant White Separatist Movement

Today the militant white separatist movement faces leadership and organizational challenges: after the deaths and arrests of significant movement leaders over the past decade, it is fractured and appears poorly led. Further, the movement's recruitment and training capabilities appear relatively crude, and it lacks a unified ideological outlook. However, it would be a mistake to conclude from this that the American white separatist movement will remain incapable of orchestrating violence on a large scale. A confluence of factors producing discontent with the status quo are likely to bolster the movement, including the present economic crisis, the migration of jobs overseas, and the fears and concerns produced by demographic trends that suggest whites will become a minority in the United States by 2050.

Indeed, most observers believe there has been an increase in support for the white separatist movement in recent years. This article assesses the current state of the movement by evaluating its operating environment, the competing strategies of top-down leadership and leaderless resistance, circulation of the movement's core doctrine, training and access to weapons, and tactical and strategic successes.

Operating Environment

An important factor that will contribute to an extremist group's success is a favorable operating environment. An environment is considered favorable if it provides the qualities necessary for a group or movement to sustain operations, and to eventually achieve its objectives. Some factors include a population that is ideologically supportive, and from which the movement may recruit members; a safe haven or protection from adversaries (in this case, the U.S. government); ability to train operatives; and the ability to access weapons and material necessary to launch attacks.

The environment in which the white separatist movement operates is decidedly mixed. On the one hand, the overall social tide in America appears to be moving against an agenda of white separatism or white supremacy. This is reflected, among other things, in the fact that the voting public elected an African-American president who hung his campaign platform on the concepts of hope and change. Further, demographic measurements show the country will only become more ethnically and racially diverse over time.

But paradoxically, the movement can also draw strength from these factors. Demographic trends give rise to fears and concerns in segments of the white population; in some ways Obama's election has magnified rather than diminished racial tensions; and political issues that have drawn people to the white separatist movement (such as immigration and gun control) have only been thrown into sharper relief. Moreover, the economy remains sick, with seventeen states having an unemployment rate of over 10%. The poor economic future that whites face as the country changes has long been a theme that movement leaders believe draws people to white separatism. As one movement publication, The Truth at Last, stated:

Immigrants are flooding into our nation willing to work for the minimum wage (or less). Super-rich corporate executives are flying all over the world in search of cheaper and cheaper labor so that they can "lay off" their American employees.... [M]any young White families have no future! They are not going to receive any appreciable wage increases due to job competition from immigrants-meaning both legal and illegal immigrants!

Similarly, Bobby Norton of the Aryan Nations told researchers Betty Dobratz and Stephanie Shanks-Meile in the 1990s: "I think the economy is going to get really bad so that's also going to bring a lot of suffering on us but it is going to make our ranks swell."It is obvious why the movement would focus on the economy: as conditions worsen, the U.S. government may lose the population's support. Pockets may become increasingly disgruntled and prone to aggressive, possibly even violent, expression of discontent. Riots may lead to government crackdowns, which would further erode trust in government. We spoke recently with Tom Metzger, a veteran of the white separatist movement and founder of the White Aryan Resistance, who sees even riots within the black community as a possible call to action for white separatists. "We're waiting for the system itself to tip," he said. "They're the ones who are going to become more brutal, more oppressive." Hypothesizing that the unemployment rate among African-Americans in the Detroit area would lead to unrest, Metzger said: "The government will come in and show its face. That will be the ‘go' signal for us to defend ourselves."

Unlike such militant Islamist groups as al-Qaeda, the white separatist movement is unlikely to have a solid base of operations or clearly assigned field bases from which to maintain a sustained military campaign. This will impede the implementation of any long-term strategy.

Leadership vs. Leaderless Resistance

Over the past decade, most of the high-profile leaders of the white separatist movement have either died or been incarcerated, including William Pierce, founder of the National Alliance (NA) and author of influential novel The Turner Diaries; Richard Butler, founder of the Aryan Nations; and Matthew Hale, leader of the World Church of the Creator (now known as the Creativity Movement). Many of the larger groups, such as the Ku Klux Klan (KKK) and NA have lost members as a result of the void in leadership, or have fragmented due to infighting.

T.J. Leyden, author of Skinhead Confessions: From Hate to Hope and former member of the Hammerskin Nation, says the KKK is now considered "a joke" in the white separatist movement. Among other reasons for this, it is no longer a unified organization and its various branches cannot agree on leadership, strategy, or tactics. Some separatists believe the KKK is not doing anything to further "the cause," but is merely collecting membership dues. Leyden observes that the movement's contemporary leaders are, overall, less educated than the leaders of ten or twenty years ago. Further, Leyden assesses that the movement is disjointed in terms of ideology, methods of operation, and even strategic objectives-a condition, he says, that could be resolved with the emergence of strong leadership.

The void in charismatic and conspicuous leadership within the white separatist movement may in part be due to specific strategic choices. It may be that the white separatist movement has moved away from a hierarchical, pyramid-style organizational model to a more flexible model that resembles a "chain network."This would suggest the adoption of leaderless resistance as a strategy, something that certain key white separatist intellectual leaders have advocated for some time. The leadership void clearly cannot be completely attributed to a strategy of leaderless resistance: too many within the movement are skeptical of such an organizing principle. But leaderless resistance does offer some clear advantages: among other things, it minimizes the chance of white separatists being netted by a RICO prosecution, makes it more difficult for lawyers like Morris Dees to bring civil lawsuits against the movement, and makes infiltration with informants more difficult.

Circulation of Core Doctrine

Another condition that can be seen as a weakness in the white separatist movement is the lack of circulation of new ideas, and lack of effort to package the core ideology in fresh ways. At one time, the white separatist movement was on the cutting edge of new and alternative media. One example is the production and distribution of white power music, which helped the movement maintain currency with younger generations. Another was the success of the anti-Semitic Liberty Lobby, which had 300,000 paid subscribers to its flagship publication at its height in the early 1980s, while "410 radio stations broadcast Liberty Lobby's daily program."

To be sure, the movement does make use of some vibrant means of social networking. The National Socialist Movement (NSM), for example, runs a social networking site at It offers users the opportunity to create personal home pages, participate in polls, access white separatist-interest blogs, videos, and other forms of new media. But while social networking and the ongoing production of white power music continue to be effective indoctrination tools, there is little evidence of further innovation.

Training and Access to Weapons and Explosives

It has frequently been suggested that hate groups have a larger presence in the military than ever before. Multiple reasons have been given for this claim. For hate groups, there would be a clear advantage to military enlistment: military experience would give white separatists more sophisticated tactical capabilities, including knowledge of urban warfare strategy, bomb-making, firearms, intelligence collection, and counter-intelligence operations. This would be of special value because, as previously noted, the white separatist movement lacks a natural geographical safe haven. The Southern Poverty Law Center (SPLC) contends that "thousands of neo-Nazis and other white supremacists" are currently serving in the armed forces. Tom Metzger concurs that there are many white separatists in the military, but says it is impossible to give a precise number because many supporters do not overtly advertise their affiliations.

Over the past year, white separatists have been involved in many violent crimes, most of which have been categorized as inter-gang violence. The weapons of choice in these incidents were mostly small arms, knives, metal pipes, sledgehammers, brass knuckles, and the like. As Metzger wrote:

We are becoming a knife and ‘edged blade' society. Carry a legal length knife and know how to use it. Box cutters come in all sizes and are a good defense item. They are disposable and cheap, and are more easily explained. In a pinch, there are dozens of weapons lying around: rocks, bottles, bricks, lumber, anything just lying around. In a riot with the JDL a few years ago a comrade used a floor standing ashtray to nearly beat a Jew attacker to death. A carpenter carries tools of the trade. Hammers are deadly. An auto mechanic carries tools; a pipe wrench can ruin the day of an attacker. Almost anything feasibly can be used as a weapon. Pencils or ballpoint pens used properly will also ruin an attackers [sic] day.

In recent years, there have been isolated cases of white separatist movement supporters seeking to fabricate or obtain weapons of mass destruction. In December 2008, Amber Cummings shot her husband, James Cummings, in the head twice as he slept. The subsequent investigation revealed that James had subjected his wife to years of abuse, and that he had dark obsessions with child pornography, Adolph Hitler, and Nazi memorabilia. Investigators also recovered the component parts of a radiological dispersal device, as well as bomb-making instructions. Amber Cummings told police that her husband was very upset over Barack Obama's election, and her comments suggested that he may have intended to attack the newly-elected president. While it did not appear that Cummings was a member of any white separatist organization at the time of his death, his wife confirmed that he had "been in contact" with groups. Investigators found a completed application for NSM member in Cummings's home.

In 2004, Tennessee farm hand Demetrius Van Crocker sought to purchase the ingredients to make Sarin gas. He described himself to an FBI undercover agent as a former member of NSM, and said he intended to attack federal courthouses. He claimed he was not a "ruthless murderer," but felt action had to be taken against the government. In a recorded conversation, Crocker said he dreamed of setting off a dirty bomb at the U.S. Capitol, and wanted a helicopter license so he could bomb black neighborhoods or spray them with poison gas.Regarding the prospect of "collateral" deaths, Crocker said:

It can't be helped. And the way things is now, everybody hollered about what Timothy McVeigh done, and I said, well, I don't like the government, anything associated with the government-a building. I don't want my kids around it, cuz I know how I feel about the government, you know? And you top all that now. They ain't gotta worry about home terrorists. Look at the [sic] al-Qaeda. I mean, would you want your kids around a government building right now? School's bad enough.

Tactical and/or Strategic Successes

To date, white separatists have not had a true strategic success, an identifiable moment that moved them closer to achieving their political objectives. It remains to be seen whether their operational capabilities grow to the point where they can experience strategic successes. Though movement adherents continually perpetrate violent crime, their attacks have done little to further their cause-and in fact, some of these actions can be viewed as detrimental to the movement.

89-year old James von Brunn, who died in a prison hospital on January 6, 2010, opened fire in Washington, D.C.'s United States Holocaust Memorial Museum in June 2009, killing security guard Stephen Tyrone Johns. Von Brunn was a long-time fixture in the white separatist movement, running a web site called Holy Western Empire that promoted the idea of a Jewish conspiracy to destroy the "white gene pool." Rather than resulting in celebration among white separatists, the event resulted in consternation about Von Brunn's apparent lack of a "game plan," and concerns about a crackdown on white nationalists. One representative comment on the popular white separatist chat forum Stormfront read:

What happened to grandpa, why did he snap? Maybe he didn't like the idea of winding up in an old folks [sic] home. It seems he was a vet. He must have forgot [sic] all his training. There was no planning in his attack, no mass kill, no massive destruction, one for one? At least McViegh [sic] went out with a bang, and the Hero Robert Matthewshad a game plan.

Conclusion

There are numerous ways to assess the current status of the white separatist movement. Four possibilities are:

1. The white separatist movement is a loaded gun that is simply waiting for a strong leader to pull the trigger by unifying the disparate factions. It has the capabilities and intentions to instigate major violence in the United States, but requires command and control in order determine the right moment to act, and in order to carry off attacks in a sustained and protracted way.

2. The white separatist movement is more unified than it appears on the surface in terms of its strategy and objectives, and the trigger will be pulled once a clear and universally understood "tipping point" becomes apparent to supporters. Social and economic conditions in the U.S. could degrade to the point where there is such a clear moment for action. Organized group factions and "lone wolves" will act in a "swarming" fashion once the "go" sign is evident.

3. The white separatist movement is not unified and does not have the ability to pose a sustained threat to national security at present, but its cause has been fueled by the bad economy and growing immigrant population in the United States. Whites who currently would not consider participating in the movement may feel compelled to become more active in the future.

4. The white separatist movement is disjointed because its ideology, strategy, and objectives are not consistently defined, and there is no real innovation in propaganda methods. The movement will fail to make a significant political impact because the tide of American sentiment is shifting away from white separatist-type grievances. They do not have the capacity or capability to artificially degrade support for the government. Individual members or small groups may become impatient that the "white revolution" will not occur in their lifetime, and their frustration will compel them to commit random acts of violence that will be horrible, but will not serve to further the movement's cause as a whole.

The white separatist movement has a substantial support base in the United States, and the current economic and political climate appears to favor its growth. Regardless of which of these hypotheses prove true, the bottom line is that groups and individuals who embrace hatred as an ideology are dangerous. Over the past nine years that the U.S. has battled Islamist terrorism, authorities have learned to "listen to the rhetoric." The same principle must be applied to racist groups in the United States.

contoh sebuah laporan intelejen...

Jumat, 05 Maret 2010

Liputan Khusus: Kasus Pembunuhan Mahasiswi UIN Jogja

Kasus pembunuhan terhadap Ana Rumaida, mahasiswa Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, di Kost Gedung Putih No 5, Sapen GK I/437 RT-25/RW-08 Gondokusuman, Yogyakarta. Korban ditemukan dalam keadaan terikat tangan dan kakinya dengan mulut yang tersumpal kain serta celana dalam korban yang sudah terlepas.
Pelaku tunggal kasus pembunuhan tersebut, Agus Setiawan alias Ferdi yang diketahui telah memiliki anak istri ini merupakan kekasih korban.
Ferdi diciduk Polisi 3 hari setelah kejadian, yakni Jumat (26/3). Pelaku diamankan aparat di rumah kontrakannya di Cibangkong, Batu Nunggal, Bandung, Jawa Barat dan langsung dibawa ke Poltabes Yogyakarta.
Kasus ini bermotifkan asmara. Antara Ferdi dan Ana, selama 3 bulan terakhir terjalin hubungan cinta. "Dari pengakuan tersangka, mereka ini sudah menjalin hubungan yakni pacaran selama 3 bulan. Pada waktu itu korban ingin mengakhiri hubungan, namun tersangka tidak menghendakinya,"
Terungkap pelaku datang ke kos korban dengan berjalan kaki. Memasuki kamar kos korban, sementara korban menuju kamar mandi. Keduanya lantas berbincang dikasur. Meskipun sempat bertengkar, namun segera akur dan mesra kembali.
Nafsu tersangka memuncak kemudian memasukkan jari tengahnya ke kemaluan korban, korban meronta dan mulai berteriak. Saat itulah pelaku memulai aksi nekatnya. Yakni dengan membungkam mulut korban dengan tangan dan kain, serta mencekik leher korban. Tak hanya itu, kedua tangan korban yang masih terus meronta nekat diikat oleh pelaku dengan menggunakan tali tas. Sementara kedua kaki diikat dengan menggunakan kain bewarna Putih. Untuk menahan korban, pelaku juga membalikkan hingga tubuh korban dalam posisi tengkurap diatas kasur.
Usai membalikkan tubuh korban, tersangka Agus lantas mengambil kunci sepeda motor milik korban yang ada didalam tas. Tak hanya itu, Agus juga mengambil STNK serta sejumlah uang dari dompet, serta notebook dan ponsel dari tas korban. Dalam reka ulang tersebut digambarkan pelaku membawa notebook dengan cara dimasukkan kedalam celana. Usai melakukan semua aksi kejinya, Agus meninggalkan TKP dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra milik korban. Kejadian ini tergambar dalam proses rekonstruksi yg terbagi dalam 18 adegan berikut ini:

Adegan 1

Tersangka Agus Setiawan tiba di depan garasi kos korban, Ana Rumaida dengan jalan kaki. Saat itu juga tersangka menelpon korban.

Adegan 2
Saat tersangka memasuki garasi kos dan tiba di halaman dalam kos, korban sedang berada di depan kamar dan hendak ke kamar mandi. Korban mengenakan pakaian daster warna putih. Saat korban berada di kamar mandi itulah, tersangka masuk ke kamar korban yang tidak dikunci. Dua orang saksi, yakni teman kos korban yang berada tak jauh dari kamarnya, sempat melihat tersangka masuk kamar korban.

Adegan 3
Ketika masuk ke dalam kamar korban, tersangka langsung tidur-tiduran.

Adegan 4
Korban masuk kamar setelah dari kamar mandi. Korban masih mengenakan pakaian daster warna putih.

Adegan 5
Tersangka dan korban duduk bersama di atas kasur sambil melakukan pembicaraan ringan.

Adegan 6
Setelah sekian lama ngobrol, terjadi cek-cok antara keduanya yang menyangkut hubungan korban dengan tersangka. Namun, langsung berbaikan kembali dan keduanya melakukan ciuman.

Adegan 7
Nafsu tersangka memuncak kemudian memasukkan jari tengahnya ke kemaluan korban. Saat itulah korban menjerit.

Adegan 8
Tersangka mencekik leher korban dengan tangan kiri, yang pada saat itu sedang menjerit supaya korban terdiam.

Adegan 9
Tersangka menyumpal mulut korban dengan kain menggunakan tangan kanan.

Adegan 10
Tersangka membalikkan tubuh korban yang semula terbaring menjadi tertelungkup. Kemudian tersangka mengambil tali tas warna hitam yang ada di sekitar TKP.

Adegan 11
Tersangka mengikat tangan korban ke belakang. Kemudian mengambil kaos yang tergantung di kamar korban.

Adegan 12
Tersangka mengikat dua kaki dengan kain yang ada di TKP.

Adegan 13
Tersangka mengambil kunci motor yang tergeletak di lantai kamar korban.

Adegan 14
Tersangka mengambil STNK dan uang korban yang ada di dalam dompet korban kemudian memasukkannya ke dompet tersangka.

Adegan 15
Tersangka mengambil laptop yang berada di atas lantai.

Adegan 16
Tersangka mengambil handphone korban yang kemudian dimasukkan ke dalam jaketnya.

Adegan 17
Tersangka menutup pintu kamar korban kemudian meninggalkannya.

Adegan 18
Tersangka mengambil sepeda motor korban yang berada di dalam garasi kemudian menuntunnya keluar. Saat sudah berada di luar garasi, tersangka menghidupkan motor korban lalu pergi.

Ferdi, bakal dijerat dengan pasal berlapis. Polisi bakal mengenakan pasal 339, 365 dan 289 KUHP kepada tersangka dengan ancaman hukuman kurungan penjara seumur hidup. Hal ini ditegaskan Kapolsek Gondokusuman, AKP Dodo Hendro Kusumo "Kita akan mengenakan tiga pasal tersebut. Karena tadi jelas ada pencekikan atau kekerasan, pencabulan serta perampasan. Apalagi menyebabkan korban kehilangan nyawa. Ancaman hukumannya seumur hidup," ungkapnya.

Note: siapakah sosok ferdi "sang eksekutor" ini, bagaimana kisah cinta (perselingkuhan) ferdi yg telah berkeluarga dg sang mahasiswi. nantikan info selanjutnya ... sabar ya friend....
Sumber : fajar jogja online

Selasa, 02 Maret 2010

Ngebong: Bursa Pelacuran Termurah di Jogja

Ngebong memang berbeda dengan pusat pelacuran yang lain. Bursa seks yang terletak di sebelah barat Stasiun Tugu ini telah bertahun-tahun menjadi bursa seks bagi kalangan bawah. di Jogja. Disini banyak waria dan wts setengah tua yang menurut saya nggak menarik babar blas... para PSK ini umumnya alumni Sarkem , Samas, Blongkeng dan bursa-bursa terkenal lainnya.
Di ngebong transaksi biasanya dilakukan di warung- remang-remang di sepanjang rel kereta api. makanya disini musti ati-ati jangan sampai ketabrak sepur yg hilir mudik.
Soal tarif super murah, WTS paling tinggi cuma Rp 30.000, kalo main sama bencong cukup 10000 itupun masih bisa nego lho fren... kalau pas lagi sepi, nilai transaksi bisa lebih jeblog lagi. nggak usah kaget kalau ada perempuan teriak: "walah... limangewu wae diutang .... (lima ribu aja ngutang)
Soal tempat main ini yang paling spesial. Disepanjang rel kereta api tersedia gubug-gubug kecil, tapi kalo pengin lebih ngirit sewa tikar aja... trus main di alam terbuka... tapi ingat harus selalu waspada soalnya tiap beberapa menit bakal ada kereta lewat. Lampu sorot kereta bakal menghadirkan pemandangan sensasional.... nggak percaya... buktikan sendiri...
Satu pesan saya yang harus saudara2 ingat, jangan sekali-kali main diatas bong (nisan kuburan orang Cina) bisa berabe. Soalnya sudah banyak kejadian, mereka yg main disitu "anunya" nggak bisa dicopot. akhirnya digotong rame-rame ke jalan raya terus dibawa ke rumah sakit. Kabarnya ada yang sampai meninggal gara-gara urusan "gancet" ini. Tapi yg jelas malunya itu lho yg nggak bakal ketulungan, apalagi kalo ketahuan wartawan terus masuk koran... wadhouw....
Fulan Bin Rame-rame
Jaman saya masih di Rumah Singgah, ngurusi anak-anak jalanan, ada data anak yang seringkali tak pernah bisa saya isi "nama bapak". Suatu kali saya tanya ke salah satu anak yang belum mengisi nama ayahnya:
"nama ayahmu koq blum diisi"
"saya juga nggak tahu"
"kamu khan bisa nanya ibumu?"
"dulu saya pernah nanya ke ibuku, tapi dia malah marah-marah, katanya 'sudah tahu ibunya lonthe ngebong koq masih nanya, bapakmu ya... banyak'... " Makanya kalo pas ketemu anak jalanan di sekitar perempatan Badran, Pingit atau di Stasiun Tugu, perhatikan wajahnya jangan-jangan dia .......mu .... hahahaha........ kabuuurr........