Menurut hasil catatan survey, lebih dari 6000 orang meninggal dunia, dan sekitar 50.000 ribu orang mengalami cedera. Sementara itu 86.000 rumah hancur dan kurang lebih sebanyak 283.000 rumah mengalami kerusakan dengan masing-masing tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan. Kerusakan bangunan paling parah terdapat disekitar Bantul, Imogiri, Piyungan, dan Klaten. Kejadian gempa ini tergolong bencana nasional, dan memberikan rentetan catatan kelam bencana di negeri Indonesia, setelah sebelumnya terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di bumi Nangro Aceh Darussalam, Nias, dan tempat-tempat lainnya.
Sebenarnya kalau kita melihat catatan sejarah, ternyata telah terjadi beberapa kali gempa di daerah Jogjakarta dan sekitarnya dengan kekuatan yang cukup merusak. Pada tahun 1867 terjadi gempa yang memberi catatan korban meninggal dan luka-luka yang cukup banyak, dan meninggalkan kerusakan pada bangunan dan infrastruktur pada daerah yang cukup luas. Pada tahun 1943 terjadi lagi gempa bumi yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 213 orang (31 korban meninggal di Jogjakarta), 2800 rumah hancur, dan daerah yang mengalami kerusakan paling parah yaitu Kebumen dan Purworejo. Pada tahun 1981 terjadi kembali gempa di daerah Jogjakarta dan sekitarnya, meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa dan kerusakan parah pada bangunan.
Cukup banyaknya korban jiwa, dan kehilangan materi memperlihatkan masih lemahnya sistem pemantauan bencana gempa bumi yang ada di negara kita ini. Padahal semenjak terjadinya bencana alam gempa bumi yang diiringi tsunami di Nangro Aceh tahun 2004, pemerintah telah mencanangkan upaya early warning sistem bencana alam gempa bumi dan tsunami. Mungkin kita masih perlu waktu untuk terus mengkaji, mempersiapkan, dan memulai secara aktif program pemantauan dan mitigasi bencana alam khususnya gempa bumi dan tsunami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar