Minggu, 19 September 2010

Los Zetas, Sang Ksatria Dunia Hitam

masih dalam proses editing...
Pembunuhan, pembantaian massal, pemenggalan kepala, dan tindak kriminal lainnya telah menjadi berita sehari-hari di hampir semua negara bagian di Meksiko. Meksiko adalah negara paling berbahaya di dunia akibat pertarungan sengit antarmafia narkoba.
Pertempuran antar kartel narkotika terutama Kartel Tijuana, Kartel Juarez, Kartel Sinaola, Kartel Teluk, Organisasi Beltran Leyva menjadi tragedi harian rakyat meksiko. Kasus terbaru, , 25 orang dibunuh di Ciudad Juarez, Meksiko utara. Dua pekan sebelumnya, 72 imigran gelap dibantai di Tamaulipas, di kawasan Teluk Meksiko.

Los Zetas termasuk salah satu kartel paling kejam di Meksiko, bahkan di Amerika Tengah. Pembantaian 72 imigran di Tamaulipas melibatkan Los Zetas. Kartel ini mengabdikan seluruh aktivitasnya untuk perdagangan ilegal narkoba internasional dan kejahatan lainnya. Sebutan ”ilegal” untuk membedakan narkoba legal, yang dibudidayakan dan digunakan terbatas berdasarkan hukum dan biasanya, antara lain, untuk penelitian dan kedokteran.

Los Zetas dibentuk oleh sekelompok desertir Pasukan Khusus Angkatan Darat Meksiko. Fungsi dan tugas pasukan khusus ini mirip dengan Kopassus TNI AD di Indonesia. Sekarang ini, para mantan pegawai federal, negara bagian, polisi lokal, dan bahkan mantan Kaibiles dari Guatemala bergabung dengan kartel ini.

Kaibiles adalah sebuah pasukan operasi khusus di Guatemala. Mereka memiliki kemahiran khusus dalam taktik perang di hutan serta operasi kontra-pemberontakan. Identitasnya dibedakan dari pasukan reguler lewat baret merah serta tambalan pedang menyala.

Los Zetas sangat terlatih soal taktik perang. Para anggotanya mahir mengoperasikan segala macam jenis senjata. Ditambah lagi dengan karakter yang keras, Los Zetas saat ini menjadi kartel paling ditakuti.

Polisi pun keder

Tidak hanya masyarakat sipil, polisi dan militer juga mesti waspada tinggi menghadapi Los Zetas yang mengusai kawasan Teluk Meksiko.

Pada awalnya mereka sebenarnya direkrut sebagai tentara bayaran pribadi untuk para petinggi kartel Teluk Meksiko (Del Golfo). Tentu saja, para pemimpin kartel Teluk kala itu melihat ada kemahiran atau kemampuan operasi para desertir.

Pada akhir tahun 1990-an, pemimpin kartel Teluk, Osiel Cárdenas Guillen, ingin melacak dan membunuh anggota kartel saingannya agar aman. Dia mulai merekrut mantan prajurit pasukan elite Grupo Aeromóvil de Fuerzas Especiales (GAFE) Meksiko.

Selama bergabung dengan GAFE, para desertir mendapat pelatihan khusus untuk melawan pemberontak dan melumpuhkan anggota dan pemimpin kartel. Ada dari mereka yang mengikuti sekolah militer di AS dan mendapatkan pendidikan khusus dari pelatih militer asal AS, Perancis, dan Israel.

Mereka terlatih bergerak dan menyebar cepat, taktis dalam bertindak, serta mahir soal serangan udara, penembakan jitu, intelijen, penyergapan, teknik kontra-penyelidikan, penyelamatan tahanan, dan piawai memakai komunikasi canggih.

Tokoh pertama yang direkrut sebagai pengawal pribadi oleh Osiel ialah Letnan Arturo Guzmán Decena. Arturo menerima gaji lebih besar. Kemudian dia mampu menarik 30 desertir GAFE lainnya karena tergiur gaji besar. Gaji mereka jauh lebih tinggi dari yang dibayarkan oleh pemerintah federal.

Setelah bos kartel Teluk, Osiel Cárdenas Guillen, ditangkap tentara pada 14 Maret 2003, para desertir tidak lagi sekadar menjadi pengawal. Mereka bergabung ke dalam kekuatan baru bersama para desertir untuk berperan lebih aktif di Teluk untuk perdagangan narkoba.

Pada 20 Januari 2007, Osiel diekstradisi ke Houston, Texas, AS, karena terlibat perdagangan kokain di wilayah itu. Pada 24 Februari 2010, ia dipenjarakan selama 25 tahun di Houston.

Ekspansi ke Italia

Kartel Teluk terguncang hingga terjadi perseteruan internal. Para desertir, atau orang-orang terlatih lainnya, berpisah menjadi kartel otonom, Los Zetas. Mereka menjadi musuh yang kuat bagi majikan dan mitranya di kartel Teluk. Los Zetas tidak saja menjadi penghancur bagi kartel lain di Meksiko, termasuk Teluk, tetapi juga bagi rakyat sipil dan negara.

Kartel ini kini dikendalikan oleh Heriberto Lazcano alias El Lazca dan oleh Drug Enforcement Administration (DEA) mereka dianggap sebagai kelompok paramiliter paling kejam di Meksiko. Los Zetas telah memperluas wilayah operasi hingga ke Italia dan berkolaborasi dengan mafia Ndrangheta di Calabria.

Nama Los Zetas dipilih untuk mengenang Arturo Guzmán Decena, yang dibunuh anggota kartel saingannya pada November 2002. Di lingkungan Kepolisian Federal Meksiko, Arturo memiliki sandi ”Z1”, sandi khusus bagi perwira hebat. Kepanjangan Z adalah Zetas (Spanyol).

Kini, geng Los Zetas semakin agresif mempertahankan dan mengendalikan koridor penyelundupan narkoba ke AS. Mereka kejam dan keji ketika akan mengeksekusi lawan-lawannya, bahkan terhadap rakyat sipil sekalipun. Presiden Meksiko Filipe Calderon memberi perhatian khusus kepada Los Zetas, mantan tentara pembela negara yang menjadi perusak

KRIMINAL MEKSIKO BUNUH MIGRAN

MEXICO-CITY (ANP) - Dinas keamanan Meksiko menahan tujuh orang karena diduga
terlibat pembunuhan 72 migran di negara bagian timur laut Tamaulipas.
Tujuh orang tersebut kabarnya anggota kelompok Los Zetas, jaringan kriminal
yang antara lain terlibat perdagangan narkoba. Akhir Agustus lalu, anggota Los
Zetas konon membawa migran asal Amerika Tengah dan Amerika Selatan ke sebuah
peternakan di dekat desa El Paso del Cantaro. Mereka ditutup mata dengan kain,
disuruh berdiri di depan tembok dan kemudian ditembak mati. Menurut seorang
korban selamat asal Ekuador, para korban menolak bekerja sebagai penyelundup
narkoba. Tamaulipas berbatasan dengan Amerika Serikat dan pasar peredaran
narkoba terpenting untuk obat bius dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Kelompok kriminal Meksiko makin sering menculik migran gelap. Migran ini
kemudian dipekerjakan sebagai kurir narkoba. Jika menolak, mereka dibunuh.
Presiden Meksiko Felipe Calderon kemarin mengumumkan telah meringkus seorang gembong kartel pengedar obat bius Sigifredo Najera alias El Canicon. Najera merupakan pemimpin Kartel Teluk, yang diklaim sebagai salah satu kartel terbesar dan terkejam di Meksiko. Najera diringkus di Coahuila, kota di sebelah utara Saltillo, yang dekat dengan Texas.

"Dia bertanggung jawab atas kekerasan bersenjata, penyiksaan, dan terbunuhnya sejumlah tentara," kata Presiden Calderon. Bukan cuma itu, Najera disebut-sebut bertanggung jawab atas serangan ke kantor Konsulat Amerika Serikat dan ke sebuah kantor jaringan televisi Televisa di Monterey. Ia juga disebut-sebut membantai enam polisi dan seorang intel.

"El Canicon terlibat dalam penyelundupan narkoba dan manusia, perampokan, pembajakan, pembunuhan, penculikan, serta pemerasan," kata Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Artuto Olivar. Sejak mengumumkan perang terhadap kartel-kartel narkoba, pemerintah telah mengerahkan 45 ribu aparat militer guna membantu polisi. Sejak itulah kekerasan melonjak.

Ditaksir total korban jiwa di Meksiko sejak 2006 mencapai lebih dari 7.000 jiwa. Amerika Serikat pun hendak turun tangan. Washington cemas kekerasan bersenjata itu akan meluber hingga ke wilayah perbatasan mereka di Texas. Bukan cuma itu, dari 50 kota, kini sudah 230 kota di Amerika Serikat yang menjadi tempat berteduh gembong-gembong narkoba Meksiko.

Itu sebabnya, Amerika Serikat meluncurkan sebuah rencana komprehensif guna membantu Meksiko memerangi sindikat obat bius di wilayah-wilayah perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Panglima Komando Pertahanan Udara Amerika Serikat di Utara Jenderal Gene Renuart pada Sabtu lalu menyampaikan rencana itu di hadapan sidang Kongres Amerika.

"Kami butuh pasukan tambahan," kata Jenderal Renuart kepada Komisi Pertahanan Senat Amerika Serikat. "Entah itu berasal dari Garda Nasional atau badan-badan penegak hukum." Amerika selama ini telah melatih militer Meksiko teknik zona perang kota sebagaimana di Irak dan Afganistan serta mengirimkan pesawat mata-mata tanpa awak ke wilayah perbatasan.

"Saya kira semua rencana komprehensif itu akan kami umumkan dalam pekan ini," kata Jenderal Renuart. Rencana itu melibatkan tim lintas departemen di bawah naungan Departemen Keamanan Nasional. Sejauh ini pemerintah Amerika telah mengupayakan segenap cara guna memerangi peredaran kokain di wilayahnya.

Washington, misalnya, telah melarang truk-truk asal Meksiko melintas di jalan-jalan di Amerika Serikat. Namun, upaya itu ditanggapi negatif Meksiko, yang mengatakan pelarangan itu merusak kesepakatan dagang kedua negara. Beberapa waktu lalu, Presiden Calderon juga berkeberatan militer Amerika Serikat beroperasi di wilayah Meksiko.

Selain menangkap Najera, pemerintah Meksiko berhasil menekuk Vicente "El Vicentillo" Zambada, anak gembong narkoba Sinaloan, yakni Ismail "El Mayo" Zambada, yang selama ini masuk daftar target operasi pemerintah Amerika Serikat. El Mayo disebut-sebut menggelar aksi brutal melawan aparat pemerintah di seantero Meksiko bersama Joaquin "Shorty" Guzman.

Guzman adalah kriminal paling dicari di Meksiko yang kini bersembunyi. Majalah Forbes baru-baru ini memasukkan Guzman dalam daftar orang terkaya di dunia dengan total harta senilai US$ 1 miliar (sekitar Rp 11 triliun). Kabar itu terang membuat Presiden Calderon geram dan melayangkan protes kepada majalah Forbes. AP | AFP | BBC | ANDREE PRIYANTO

PETA PERANG NARKOBA

Amerika Serikat melansir sebuah rencana komprehensif guna membantu Meksiko memerangi para pengedar obat bius, yang sepak terjangnya kini kian merajalela. Lebih dari 7.000 jiwa tewas sejak Januari tahun lalu manakala pemerintah Presiden Felipe Calderon menabuh genderang perang melawan kartel-kartel narkoba di negerinya.

Alhasil, kekerasan bersenjata meluap di Meksiko. Banyak pejabat pemerintah dan penegak hukum yang dibantai gembong-gembong sindikat pengedar narkoba. Tak sedikit pula pejabat dan aparat pemerintah yang diringkus karena membela para mafia kartel obat bius. Negeri tetangga terdekat, Amerika Serikat, pun cemas kekerasan bersenjata itu akan meluber ke sepanjang wilayah perbatasan Amerika Serikat-Meksiko. | AP | AFP | GRAPHICNEWS | DRE


AMERIKA SERIKAT
Kartel-kartel pengedar obat bius ditaksir hidup di 230 kota di Amerika Serikat. Jumlah itu bertambah mengingat pada 2006 mereka hidup di 50 kota saja.
Penyelundupan obat bius dari Amerika Selatan ke Amerika Serikat diperkirakan bernilai US$ 13 miliar (sekitar Rp 153 triliun) per tahun.
Amerika Serikat akan memberikan bantuan uang, militer di perbatasan, pelatihan taktik perang kota dan antipemberontakan sebagaimana di Irak dan Afganistan, serta pesawat mata-mata tanpa awak.
Panglima Komando Pertahanan Udara Amerika Utara Jenderal Gene Renuart ingin militer Amerika Serikat mengawal pintu-pintu perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko.
Total korban tewas akibat kekerasan bersenjata dalam Perang Narkoba terus bertambah sejak 2006 setelah Presiden Felipe Calderon mengirimkan 45 ribu personel pasukan melawan kartel-kartel narkoba.
Los Zetas:Pasukan bersenjata milik kartel-kartel Teluk dan merupakan salah satu sindikat narkoba paling ganas. Pasukan ini dipimpin serdadu-serdadu desertir Pasukan Khusus Meksiko.

WILAYAH KEKUASAAN KARTEL


Indonesia's Legislators among The Worst Performing in Asia

Indonesia’s legislators may be among the worst performing in Asia in terms of passing laws promptly, but nobody can accuse them of not going the extra mile when it comes to expensive research trips abroad. They have passed only seven out of 70 bills targeted for 2010, placing them far behind their counterparts in Malaysia, with 29 approved so far this year, and Singapore which passed 22.

But 30 legislators flew off this week on two separate multi-country trips, media said — a two-week visit to South Africa, South Korea and Japan to investigate the boy scout movement, and three weeks in the Netherlands and Norway to look into horticulture. The trips provoked fierce criticism from Indonesians growing increasingly angry at the antics of their politicians.

The Indonesian Forum for Budget Transparency, known as Fitra, said the trips cost a total of 3.7 billion rupiah ($412,000), and were unnecessary because bills on scouting and horticulture were already almost complete and ready to be passed into law. It said the legislators were going on the trips “purely for leisure”.

In an angry response, House of Representatives Speaker Marzuki Alie insisted foreign trips were essential to ensure pending legislation was properly researched.

“Every step the House takes is always deemed wrong,” he said. “This needs to be rectified.” But legislators have scored plenty of own goals.

Gym and junkets

There has been a furious outcry over two other initiatives seen as particularly self-serving — a 1.6 trillion rupiah luxurious new parliament office building complete with swimming pool and fitness centre, and a proposed fund which they can use to lavish on private offices and staff in their electorates.

The general election last year marked the first time that Indonesians were allowed to vote directly for their lawmakers, instead of leaving the selection to political parties. Many Indonesians and foreign investors had hoped this would herald a new era of accountability, result in a greater focus on passing key legislation needed to speed up civil service reform and infrastructure in Southeast Asia’s biggest economy.

Those hopes have, so far, been disappointed. Tens of thousands of people have joined Facebook groups to protest against the renovation of the parliament building, built in the 1960s. On one page, Facebook user Maria Kusuma wrote: “How can this country advance and prosper when our state officials loot public money under the pretext of helping the people?"

Some politicians agree there is no need for a new building, but plenty of others fail to see the problem. “The fitness area and weights room are needed for the physical recovery of parliamentarians” and could help attract tourists, Michael Wattimena, a lawmaker from the president’s Democrat Party, told an online news portal.

Such an expensive project could also potentially be open to corruption in awarding contracts, but what riles Indonesians is the fact their parliamentarians do so little work anyway. Many run private businesses while in office and play truant during plenary sessions. TV stations often show footage of a near-empty chamber on days when parliament is sitting, with those few attendees openly snoozing or taking phone calls.

Public anger

Among legislation delayed by the sluggish proceedings in parliament are a social welfare bill, a bill on intelligence and security, and an amendment to the oil and gas bill. A poll conducted by survey firm Chartika Politika this month showed that more than half of the respondents felt parliament had failed to carry out its main function, only 22.8 percent thought it had managed the budget well, and 84 percent thought lawmakers who regularly played truant should be fired.

Construction of the new building has been delayed because of the public outcry, but one lawmaker said it was unlikely the plan would be revoked altogether. Others are now focusing on reviving plans for an “aspiration fund”, which would disburse as much as $40,000 to each lawmaker for rental of an electorate office.

The scheme has been enthusiastically promoted by Golkar, the old guard political party led by tycoon Aburizal Bakrie, which said the funds would aid regional development. Voters are not impressed by the pork barrel politics or frequent cases of corruption involving politicians.

When 26 former and current lawmakers were recently named graft suspects for allegedly taking bribes of up to 1.45 billion rupiah to vote for a former central bank governor, opposition party PDI-P complained to the Corruption Eradication Commission (or KPK), and Bakrie questioned whether the case should be a priority for the KPK, local media reported. Golkar and PDI-P members are among the suspects.

One protester, veteran actor and former soap star Pong Harjatmo, was arrested earlier this year after making his views very clear — he climbed onto the parliament’s roof to spraypaint it with the words “fair, honest, firm” — a reminder to legislators of the values Indonesians want them to uphold.
sumber: KOMPAS.com, gambar ditambahkan