Kawasan Kramat Tunggak pernah menjadi pusat prostitusi terbesar di Jakarta. Setelah diratakan dengan tanah pada akhir 1999, kawasan merah itu kini menjadi salah satu pusat dakwah Islam di ibu kota.
TATI masih ingat betul rutinitas di kampung tempat dirinya tinggal sepuluh tahun silam. Tiap malam menjelang, musik dangdut dan house music beradu dengan tawa renyah wanita-wanita berpenampilan seksi dan menor. Ratusan wisma dengan lampu temaram penuh dengan pasangan pria dan wanita yang bercanda mesra. Asap rokok dan bau minuman keras menemani keceriaan semu mereka.
Begitulah suasana malam kampung Kramat Tunggak sebelum 31 Desember 1999. Saat itu, kawasan tersebut masih merupakan lokasi prostitusi terbesar di ibu kota. Lokalisasi itu menjadi gantungan hidup 1.615 wanita tunasusila, 258 germo, 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, serta 155 tukang ojek dan tukang cuci.
Kini kondisi Kramat Tunggak sudah berubah total. "Wisma-wisma yang dihuni penjaja seks dan mucikari sudah lenyap. Wanita penjaja seks juga banyak yang pergi walau sebagian kecil masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi," tutur Tati, wanita berjilbab berusia 56 tahun itu.
Ya, melalui surat keputusan Gubernur Sutiyoso, lokalisasi di kawasan Jakarta Utara tersebut resmi ditutup pada 31 Desember 1999 menyusul protes dari para penduduk sekitar. Setelah itu, seluruh wisma, diskotek, dan bar yang berdiri di atas lahan 10,9 hektare itu diratakan dengan tanah. Tamatlah riwayat kawasan merah yang beroperasi sejak 1972 tersebut.
Kini wajah Kramat Tunggak berubah total. Lokasi yang dulu menjadi pusat prostitusi itu sekarang menjadi bangunan Jakarta Islamic Centre (JIC) yang berdiri megah dengan masjid besar di tengahnya. Masjid seluas 78 x 78 meter itu dibangun dengan biaya Rp 111,998 miliar dan mampu menampung 20 ribu jamaah, dengan 50 saf.
Bangunan JIC yang berdiri kukuh dengan menara menjulang ke langit seakan-akan menjadi pertanda bahwa Kramat Tunggak sekarang dan mendatang menjanjikan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat pengumbar nafsu itu kini telah menjadi kawasan putih.
Namun, Tati mengakui bahwa tidak ada proses perubahan yang instan, termasuk menyangkut sikap mental religius warga. "Tapi, dengan berdirinya JIC, kini ada fasilitas umat untuk bersama-sama berubah menjadi lebih baik dan bermoral," tutur dia.
JIC memang telah memberikan warna lain yang lebih tenang dan sejuk. Berbagai aktivitas keagamaan pun menjadi menu utama di sana, terlebih pada bulan Ramadan. Mulai pesantren kilat, pengkajian ilmu agama, tadarus Alquran, buka puasa bersama, hingga ceramah agama.
Pada hari-hari biasa, pelataran masjid yang luas dan dilengkapi fasilitas jaringan free wireless connection itu menjadi ruang yang dinikmati penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang wisatawan lokal datang untuk sekadar menikmati arsitekstur masjid yang memang indah.
Meski demikian, itu tidak berarti praktik prostitusi di lokasi tersebut lenyap sama sekali. Tati yang juga seorang mantan pekerja seks komersial itu menuturkan pada hari-hari tertentu masih ada belasan wanita malam yang nekat mangkal di sekitar lokasi tersebut. "Apalagi masih ada beberapa kafe yang tetap buka sampai sekarang," terang wanita yang kini beralih pekerjaan sebagai pedagang makanan itu.
Seorang takmir Masjid JIC, Inang Mulki, menceritakan, sejak fasilitas masjid dan kompleks Islam itu diresmikan pada 2003, warga setempat mulai merumuskan langkah untuk mengusir para kupu-kupu malam dari lokasi mangkal mereka. Berbagai cara ditempuh agar praktik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu berhenti. "Warga seperti saya dulu memang bekerja di sini (lokalisasi). Tapi, setelah semua tutup, kami sadar bahwa harus ada perubahan," terangnya.
Beberapa langkah itu, antara lain, memasang lampu penerangan yang lebih banyak di sepanjang Jalan Kramat Raya. Selain itu, warga juga mengintensifkan patroli di bibir-bibir trotoar untuk mengusir para PSK yang lazimnya berpartner dengan para tukang ojek di sekitar jalan tersebut. "Itu berlangsung sejak 2004. Kami didukung Pemda Jakarta Utara," tutur pria 30 tahun itu.
Sebagai penduduk yang sempat bekerja dan menjadi bagian dari lokalisasi, Inang mengaku sama sekali tidak menyesal dengan penghapusan pusat prostitusi itu. Bahkan, dia bahagia lingkungannya bisa terbebas dari apa yang disebut kawasan merah. "Buktinya, sekarang saya bisa bekerja di JIC dan berpenghasilan halal dari pekerjaan ini. Kalau dibandingkan dulu, kondisi saya sekarang jauh lebih baik," paparnya sambil berpamitan untuk mengepel lantai masjid yang tampak berdebu. "Keburu Magrib, Mas."
Saat lokalisasi Kramat Tunggak masih eksis, Inang kerja serabutan di sana. Mulai dari tukang parkir hingga tukang angkut barang-barang kebutuhan warga lokalisasi.
JIC sendiri dikelilingi oleh perkampungan padat yang terbilang kumuh. Rumah-rumah penduduk dibangun saling berdempetan dengan gang-gang sempit. Aroma got memenuhi hampir seluruh gang sempit itu. Sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah itu merupakan warga pendatang.
Di sepanjang Jalan Kramat Raya sendiri terdapat beberapa bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat karaoke dan diskotek. Kini bangunan itu mangkrak dan beberapa di pagar tinggi dipasang plakat "tanah sengketa”.
Menurut Inang, banyak juga di antara bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat pendukung kegiatan mesum yang beralih fungsi. Di antaranya, salon-salon dan tempat perawatan tubuh berubah menjadi konter handphone atau bahkan toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok. Selain itu, banyak tempat laundry bagi para PSK yang tutup. Pemiliknya beralih pekerjaan menjadi pedagang. Hal itu, terang dia, dimungkinkan karena lokasi Kramat Tunggak memang berdekatan dengan Pasar Koja Baru dan pusat perbelanjaan Ramayana. "Jadi, nggak perlu pusing-pusing cari kerjaan lain, sudah disediakan sama yang di Atas," tuturnya.
Juga banyak warga sekitar yang bekerja di JIC. Jumlahnya kira-kira 200 orang. Mereka pekerja keamananan sampai cleaning service. Sebelumnya, pemda juga berinisiatif merangkul warga dengan merekrut pekerja bangunan yang mayoritas dari penduduk sekitar. "Mungkin karena metodenya merangkul, jadi penolakan hampir tak ada," kata pria bertubuh mungil itu.
TATI masih ingat betul rutinitas di kampung tempat dirinya tinggal sepuluh tahun silam. Tiap malam menjelang, musik dangdut dan house music beradu dengan tawa renyah wanita-wanita berpenampilan seksi dan menor. Ratusan wisma dengan lampu temaram penuh dengan pasangan pria dan wanita yang bercanda mesra. Asap rokok dan bau minuman keras menemani keceriaan semu mereka.
Begitulah suasana malam kampung Kramat Tunggak sebelum 31 Desember 1999. Saat itu, kawasan tersebut masih merupakan lokasi prostitusi terbesar di ibu kota. Lokalisasi itu menjadi gantungan hidup 1.615 wanita tunasusila, 258 germo, 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, serta 155 tukang ojek dan tukang cuci.
Kini kondisi Kramat Tunggak sudah berubah total. "Wisma-wisma yang dihuni penjaja seks dan mucikari sudah lenyap. Wanita penjaja seks juga banyak yang pergi walau sebagian kecil masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi," tutur Tati, wanita berjilbab berusia 56 tahun itu.
Ya, melalui surat keputusan Gubernur Sutiyoso, lokalisasi di kawasan Jakarta Utara tersebut resmi ditutup pada 31 Desember 1999 menyusul protes dari para penduduk sekitar. Setelah itu, seluruh wisma, diskotek, dan bar yang berdiri di atas lahan 10,9 hektare itu diratakan dengan tanah. Tamatlah riwayat kawasan merah yang beroperasi sejak 1972 tersebut.
Kini wajah Kramat Tunggak berubah total. Lokasi yang dulu menjadi pusat prostitusi itu sekarang menjadi bangunan Jakarta Islamic Centre (JIC) yang berdiri megah dengan masjid besar di tengahnya. Masjid seluas 78 x 78 meter itu dibangun dengan biaya Rp 111,998 miliar dan mampu menampung 20 ribu jamaah, dengan 50 saf.
Bangunan JIC yang berdiri kukuh dengan menara menjulang ke langit seakan-akan menjadi pertanda bahwa Kramat Tunggak sekarang dan mendatang menjanjikan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat pengumbar nafsu itu kini telah menjadi kawasan putih.
Namun, Tati mengakui bahwa tidak ada proses perubahan yang instan, termasuk menyangkut sikap mental religius warga. "Tapi, dengan berdirinya JIC, kini ada fasilitas umat untuk bersama-sama berubah menjadi lebih baik dan bermoral," tutur dia.
JIC memang telah memberikan warna lain yang lebih tenang dan sejuk. Berbagai aktivitas keagamaan pun menjadi menu utama di sana, terlebih pada bulan Ramadan. Mulai pesantren kilat, pengkajian ilmu agama, tadarus Alquran, buka puasa bersama, hingga ceramah agama.
Pada hari-hari biasa, pelataran masjid yang luas dan dilengkapi fasilitas jaringan free wireless connection itu menjadi ruang yang dinikmati penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang wisatawan lokal datang untuk sekadar menikmati arsitekstur masjid yang memang indah.
Meski demikian, itu tidak berarti praktik prostitusi di lokasi tersebut lenyap sama sekali. Tati yang juga seorang mantan pekerja seks komersial itu menuturkan pada hari-hari tertentu masih ada belasan wanita malam yang nekat mangkal di sekitar lokasi tersebut. "Apalagi masih ada beberapa kafe yang tetap buka sampai sekarang," terang wanita yang kini beralih pekerjaan sebagai pedagang makanan itu.
Seorang takmir Masjid JIC, Inang Mulki, menceritakan, sejak fasilitas masjid dan kompleks Islam itu diresmikan pada 2003, warga setempat mulai merumuskan langkah untuk mengusir para kupu-kupu malam dari lokasi mangkal mereka. Berbagai cara ditempuh agar praktik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu berhenti. "Warga seperti saya dulu memang bekerja di sini (lokalisasi). Tapi, setelah semua tutup, kami sadar bahwa harus ada perubahan," terangnya.
Beberapa langkah itu, antara lain, memasang lampu penerangan yang lebih banyak di sepanjang Jalan Kramat Raya. Selain itu, warga juga mengintensifkan patroli di bibir-bibir trotoar untuk mengusir para PSK yang lazimnya berpartner dengan para tukang ojek di sekitar jalan tersebut. "Itu berlangsung sejak 2004. Kami didukung Pemda Jakarta Utara," tutur pria 30 tahun itu.
Sebagai penduduk yang sempat bekerja dan menjadi bagian dari lokalisasi, Inang mengaku sama sekali tidak menyesal dengan penghapusan pusat prostitusi itu. Bahkan, dia bahagia lingkungannya bisa terbebas dari apa yang disebut kawasan merah. "Buktinya, sekarang saya bisa bekerja di JIC dan berpenghasilan halal dari pekerjaan ini. Kalau dibandingkan dulu, kondisi saya sekarang jauh lebih baik," paparnya sambil berpamitan untuk mengepel lantai masjid yang tampak berdebu. "Keburu Magrib, Mas."
Saat lokalisasi Kramat Tunggak masih eksis, Inang kerja serabutan di sana. Mulai dari tukang parkir hingga tukang angkut barang-barang kebutuhan warga lokalisasi.
JIC sendiri dikelilingi oleh perkampungan padat yang terbilang kumuh. Rumah-rumah penduduk dibangun saling berdempetan dengan gang-gang sempit. Aroma got memenuhi hampir seluruh gang sempit itu. Sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah itu merupakan warga pendatang.
Di sepanjang Jalan Kramat Raya sendiri terdapat beberapa bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat karaoke dan diskotek. Kini bangunan itu mangkrak dan beberapa di pagar tinggi dipasang plakat "tanah sengketa”.
Menurut Inang, banyak juga di antara bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat pendukung kegiatan mesum yang beralih fungsi. Di antaranya, salon-salon dan tempat perawatan tubuh berubah menjadi konter handphone atau bahkan toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok. Selain itu, banyak tempat laundry bagi para PSK yang tutup. Pemiliknya beralih pekerjaan menjadi pedagang. Hal itu, terang dia, dimungkinkan karena lokasi Kramat Tunggak memang berdekatan dengan Pasar Koja Baru dan pusat perbelanjaan Ramayana. "Jadi, nggak perlu pusing-pusing cari kerjaan lain, sudah disediakan sama yang di Atas," tuturnya.
Juga banyak warga sekitar yang bekerja di JIC. Jumlahnya kira-kira 200 orang. Mereka pekerja keamananan sampai cleaning service. Sebelumnya, pemda juga berinisiatif merangkul warga dengan merekrut pekerja bangunan yang mayoritas dari penduduk sekitar. "Mungkin karena metodenya merangkul, jadi penolakan hampir tak ada," kata pria bertubuh mungil itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar