Sabtu, 27 November 2010

Manten Kucing, Ritual Unik Asli Tulungagung

Ritual manten kucing sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun silam. Tradisi tersebut pertama kali muncul di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Ritual manten kucing dilaksanakan sebagai sarana untuk memohon hujan.

“Dulu di desa ini pernah terjadi kemarau panjang, setelah dilakukan ritual tersebut, langsung turun hujan. Arti ritual manten kucing itu bukan berarti menikahkan seekor kucing, tetapi memandikan seekor kucing di coban (telaga),” ujar Kepala Desa Pelem, Nugroho Agus, ditemui Surya di rumahnya, Sabtu (27/11).

Dikisahkan Agus, asal muasal ritual manten kucing itu mempunyai sejarah panjang, yang hingga sekarang masih dipercaya oleh masyarakat setempat. Dahulu, di Desa Pelem hidup seorang Demang yang dikenal dengan sebutan Eyang Sangkrah. Ia adalah sosok linuwih dalam ilmu kejawen. Eyang Sangkrah memiliki seekor kucing condromowo (bulunya tiga warna) jantan dengan sepasang mata istimewa.

Suatu ketika, sekitar tahun 1928, Desa Pelem dilanda kemarau panjang. Masyarakat desa kesulitan untuk mendapatkan air. Sebagai seorang pemimpin desa, Eyang Sangkrah merasa bertanggungjawab atas nasib penduduknya. Berbagai ritual untuk memohon hujan dilakukan, tapi air tidak kunjung turun.

Eyang Sangkrah merasa kehabisan cara. Dalam kebingungan itu, Eyang Sangkrah mandi di telaga yang berada di desanya. Secara tidak sengaja, saat mandi, kucing jantannya yang selalu ikut ke mana-mana itu bermain air. “Begitu kucingnya main air, selang beberapa saat hujan lebat mengguyur desa ini,” cerita Agus, yang masih memiliki garis keturunan dari Eyang Sangkrah.

Semenjak peristiwa tersebut, masyarakat di desa itu meyakini keampuhan ritual manten kucing. Jika Desa Pelem dilanda kemarau panjang, warga akan menggelar ritual memandikan kucing di telaga tempat Eyang Sangkrah memandikan kucingnya. “Ritual ini tidak setiap tahun kami lakukan, menyesuaikan situasi musim. Dulu ritual ini tidak ada namanya, ya cuma memandikan kucing saja,” jelas Agus.

Seiring perkembangan zaman dan bergantinya generasi, masyarakat setempat menamakan ritual tersebut sebagai manten kucing. Agar suasana lebih meriah, biasanya, masyarakat menambahkan kesenian lokal, seperti tiban dan jidor, untuk mengiringi ritual. Pelaksanaannya pun dikemas dengan nuansa kesenian. Sebelum kucing dimandikan di coban, warga terlebih dahulu mengarak kucing keliling desa. “Ketika menjabat sebagai kades, saya pernah melakukan ritual tersebut pada 2008 lalu,” terang Agus.

Agus pun punya keinginan untuk melestarikan legenda yang sudah diyakini masyarakatnya. Agus kemudian mempromosikan ritual itu kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Tulungagung dan disambut baik. Bahkan ketika ada lomba kesenian di TMII Jakarata, pihaknya dipercaya mewakili Kabupaten Tulungagung untuk menampilkan ritual manten kucing, dan mendapat nilai plus dari sang juri. “Saya angkat kembali legenda itu untuk menarik wisatawan agar mengunjungi coban yang ada di Desa Pelem. Saat ini saya lebih menonjolkan nilai keseniannya terlepas ada atau tidaknya kekuatan magis dalam ritual itu,” tutur bapak empat anak ini.

Belakangan, Pemkab Tulungagung ingin mengukuhkan ritual manten kucing sebagai kebudayaan asli daerah. Pemkab kemudian menggelar festival manten kucing, Senin, tanggal 22 November 2010 lalu, yang diikuti 19 kecamatan. Dalam festival untuk memperingati HUT Tulungagung itu, setiap kecamatan diwajibkan untuk menampilkan ritual manten kucing yang terbaik.

Inilah yang kemudian menjadi masalah, dan dikecam MUI. Sebab dalam festival itu, ada salah satu peserta yang salah mengartikan tradisi manten kucing. Peserta tersebut secara gamblang memvisualisasikan ritual manten kucing layaknya menikahkan manusia, yang dilengkapi dengan kembar mayang, dan ada seorang penghulu yang memandu ijab kabul.

Tampilan yang diperagakan salah satu peserta itu, akhirnya memantik reaksi keras dari ulama. MUI Tulungagung pun mengeluarkan fatwa yang isinya mengecam ritual tersebut karena dianggap melukai hati umat Islam dan berbau syirik.

Seperti yang diungkapkan Sekretaris MUI Kabupaten Tulungagung H Abu Sofyan Sirojudin, AMd. Menurutnya, ritual manten kucing telah melecehkan umat islam. Sebab, istilah manten (nikah) itu berlaku bagi umat manusia, bukan untuk binatang. Dikatakan Sofyan, pihaknya tidak mempermasalahkan jika binatang kucing dijadikan budaya. Akan tetapi, pelaksanaan ritual menikahkan binatang kucing ala manusia itu yang menjadi persoalan. Apalagi, dalam peragaan tersebut, tampak seseorang yang berdandan seperti kiai yang bertugas menikahkan si kucing. Untuk itu, Sofyan meminta panitia pelaksanaan festival manten kucing segera meminta maaf kepada umat Islam.

Terpisah, Kasi Kebudayaan dan Tradisi Dinas Pariwisata Kabupaten Tulungagung, Sri Wahyuni mengatakan, kejadian itu murni salah persepsi dari peserta festival. Menurutnya, sebelum acara digelar, panitia sudah memberikan pengarahan kepada semua peserta, arti dari ritual manten kucing. Pihaknya sendiri tidak tahu ketika acara digelar ada salah satu peserta yang tetap menampilkan ritual manten kucing layaknya menikahkan manusia. “Kami sudah meminta maaf atas kesalahan itu. Hal itu hanya semata-mata kesalahpahaman dari peserta, dan tidak ada maksud untuk melecehkan akidah agama,” terangnya.

Jejak Sejarah Pelacuran di Indonesia, sejak Mataram hingga NKRI

Pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22). Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.

Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.

Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).

Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir.

Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3).

Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.

Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).

Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).

Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6).

Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).

Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6).

Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6).

Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebun an di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem.

Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah.

Kramat Tunggak: Bekas PSK Jadi Pedagang, Tukang Parkir Jadi Takmir Masjid

Kawasan Kramat Tunggak pernah menjadi pusat prostitusi terbesar di Jakarta. Setelah diratakan dengan tanah pada akhir 1999, kawasan merah itu kini menjadi salah satu pusat dakwah Islam di ibu kota.

TATI masih ingat betul rutinitas di kampung tempat dirinya tinggal sepuluh tahun silam. Tiap malam menjelang, musik dangdut dan house music beradu dengan tawa renyah wanita-wanita berpenampilan seksi dan menor. Ratusan wisma dengan lampu temaram penuh dengan pasangan pria dan wanita yang bercanda mesra. Asap rokok dan bau minuman keras menemani keceriaan semu mereka.

Begitulah suasana malam kampung Kramat Tunggak sebelum 31 Desember 1999. Saat itu, kawasan tersebut masih merupakan lokasi prostitusi terbesar di ibu kota. Lokalisasi itu menjadi gantungan hidup 1.615 wanita tunasusila, 258 germo, 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, serta 155 tukang ojek dan tukang cuci.

Kini kondisi Kramat Tunggak sudah berubah total. "Wisma-wisma yang dihuni penjaja seks dan mucikari sudah lenyap. Wanita penjaja seks juga banyak yang pergi walau sebagian kecil masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi," tutur Tati, wanita berjilbab berusia 56 tahun itu.

Ya, melalui surat keputusan Gubernur Sutiyoso, lokalisasi di kawasan Jakarta Utara tersebut resmi ditutup pada 31 Desember 1999 menyusul protes dari para penduduk sekitar. Setelah itu, seluruh wisma, diskotek, dan bar yang berdiri di atas lahan 10,9 hektare itu diratakan dengan tanah. Tamatlah riwayat kawasan merah yang beroperasi sejak 1972 tersebut.

Kini wajah Kramat Tunggak berubah total. Lokasi yang dulu menjadi pusat prostitusi itu sekarang menjadi bangunan Jakarta Islamic Centre (JIC) yang berdiri megah dengan masjid besar di tengahnya. Masjid seluas 78 x 78 meter itu dibangun dengan biaya Rp 111,998 miliar dan mampu menampung 20 ribu jamaah, dengan 50 saf.

Bangunan JIC yang berdiri kukuh dengan menara menjulang ke langit seakan-akan menjadi pertanda bahwa Kramat Tunggak sekarang dan mendatang menjanjikan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat pengumbar nafsu itu kini telah menjadi kawasan putih.

Namun, Tati mengakui bahwa tidak ada proses perubahan yang instan, termasuk menyangkut sikap mental religius warga. "Tapi, dengan berdirinya JIC, kini ada fasilitas umat untuk bersama-sama berubah menjadi lebih baik dan bermoral," tutur dia.

JIC memang telah memberikan warna lain yang lebih tenang dan sejuk. Berbagai aktivitas keagamaan pun menjadi menu utama di sana, terlebih pada bulan Ramadan. Mulai pesantren kilat, pengkajian ilmu agama, tadarus Alquran, buka puasa bersama, hingga ceramah agama.

Pada hari-hari biasa, pelataran masjid yang luas dan dilengkapi fasilitas jaringan free wireless connection itu menjadi ruang yang dinikmati penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang wisatawan lokal datang untuk sekadar menikmati arsitekstur masjid yang memang indah.

Meski demikian, itu tidak berarti praktik prostitusi di lokasi tersebut lenyap sama sekali. Tati yang juga seorang mantan pekerja seks komersial itu menuturkan pada hari-hari tertentu masih ada belasan wanita malam yang nekat mangkal di sekitar lokasi tersebut. "Apalagi masih ada beberapa kafe yang tetap buka sampai sekarang," terang wanita yang kini beralih pekerjaan sebagai pedagang makanan itu.

Seorang takmir Masjid JIC, Inang Mulki, menceritakan, sejak fasilitas masjid dan kompleks Islam itu diresmikan pada 2003, warga setempat mulai merumuskan langkah untuk mengusir para kupu-kupu malam dari lokasi mangkal mereka. Berbagai cara ditempuh agar praktik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu berhenti. "Warga seperti saya dulu memang bekerja di sini (lokalisasi). Tapi, setelah semua tutup, kami sadar bahwa harus ada perubahan," terangnya.

Beberapa langkah itu, antara lain, memasang lampu penerangan yang lebih banyak di sepanjang Jalan Kramat Raya. Selain itu, warga juga mengintensifkan patroli di bibir-bibir trotoar untuk mengusir para PSK yang lazimnya berpartner dengan para tukang ojek di sekitar jalan tersebut. "Itu berlangsung sejak 2004. Kami didukung Pemda Jakarta Utara," tutur pria 30 tahun itu.

Sebagai penduduk yang sempat bekerja dan menjadi bagian dari lokalisasi, Inang mengaku sama sekali tidak menyesal dengan penghapusan pusat prostitusi itu. Bahkan, dia bahagia lingkungannya bisa terbebas dari apa yang disebut kawasan merah. "Buktinya, sekarang saya bisa bekerja di JIC dan berpenghasilan halal dari pekerjaan ini. Kalau dibandingkan dulu, kondisi saya sekarang jauh lebih baik," paparnya sambil berpamitan untuk mengepel lantai masjid yang tampak berdebu. "Keburu Magrib, Mas."

Saat lokalisasi Kramat Tunggak masih eksis, Inang kerja serabutan di sana. Mulai dari tukang parkir hingga tukang angkut barang-barang kebutuhan warga lokalisasi.

JIC sendiri dikelilingi oleh perkampungan padat yang terbilang kumuh. Rumah-rumah penduduk dibangun saling berdempetan dengan gang-gang sempit. Aroma got memenuhi hampir seluruh gang sempit itu. Sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah itu merupakan warga pendatang.

Di sepanjang Jalan Kramat Raya sendiri terdapat beberapa bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat karaoke dan diskotek. Kini bangunan itu mangkrak dan beberapa di pagar tinggi dipasang plakat "tanah sengketa”.

Menurut Inang, banyak juga di antara bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat pendukung kegiatan mesum yang beralih fungsi. Di antaranya, salon-salon dan tempat perawatan tubuh berubah menjadi konter handphone atau bahkan toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok. Selain itu, banyak tempat laundry bagi para PSK yang tutup. Pemiliknya beralih pekerjaan menjadi pedagang. Hal itu, terang dia, dimungkinkan karena lokasi Kramat Tunggak memang berdekatan dengan Pasar Koja Baru dan pusat perbelanjaan Ramayana. "Jadi, nggak perlu pusing-pusing cari kerjaan lain, sudah disediakan sama yang di Atas," tuturnya.

Juga banyak warga sekitar yang bekerja di JIC. Jumlahnya kira-kira 200 orang. Mereka pekerja keamananan sampai cleaning service. Sebelumnya, pemda juga berinisiatif merangkul warga dengan merekrut pekerja bangunan yang mayoritas dari penduduk sekitar. "Mungkin karena metodenya merangkul, jadi penolakan hampir tak ada," kata pria bertubuh mungil itu.

Kramat Tunggak: Bekas PSK Jadi Pedagang, Tukang Parkir Jadi Takmir Masjid

Kawasan Kramat Tunggak pernah menjadi pusat prostitusi terbesar di Jakarta. Setelah diratakan dengan tanah pada akhir 1999, kawasan merah itu kini menjadi salah satu pusat dakwah Islam di ibu kota.

TATI masih ingat betul rutinitas di kampung tempat dirinya tinggal sepuluh tahun silam. Tiap malam menjelang, musik dangdut dan house music beradu dengan tawa renyah wanita-wanita berpenampilan seksi dan menor. Ratusan wisma dengan lampu temaram penuh dengan pasangan pria dan wanita yang bercanda mesra. Asap rokok dan bau minuman keras menemani keceriaan semu mereka.

Begitulah suasana malam kampung Kramat Tunggak sebelum 31 Desember 1999. Saat itu, kawasan tersebut masih merupakan lokasi prostitusi terbesar di ibu kota. Lokalisasi itu menjadi gantungan hidup 1.615 wanita tunasusila, 258 germo, 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, serta 155 tukang ojek dan tukang cuci.

Kini kondisi Kramat Tunggak sudah berubah total. "Wisma-wisma yang dihuni penjaja seks dan mucikari sudah lenyap. Wanita penjaja seks juga banyak yang pergi walau sebagian kecil masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi," tutur Tati, wanita berjilbab berusia 56 tahun itu.

Ya, melalui surat keputusan Gubernur Sutiyoso, lokalisasi di kawasan Jakarta Utara tersebut resmi ditutup pada 31 Desember 1999 menyusul protes dari para penduduk sekitar. Setelah itu, seluruh wisma, diskotek, dan bar yang berdiri di atas lahan 10,9 hektare itu diratakan dengan tanah. Tamatlah riwayat kawasan merah yang beroperasi sejak 1972 tersebut.

Kini wajah Kramat Tunggak berubah total. Lokasi yang dulu menjadi pusat prostitusi itu sekarang menjadi bangunan Jakarta Islamic Centre (JIC) yang berdiri megah dengan masjid besar di tengahnya. Masjid seluas 78 x 78 meter itu dibangun dengan biaya Rp 111,998 miliar dan mampu menampung 20 ribu jamaah, dengan 50 saf.

Bangunan JIC yang berdiri kukuh dengan menara menjulang ke langit seakan-akan menjadi pertanda bahwa Kramat Tunggak sekarang dan mendatang menjanjikan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat pengumbar nafsu itu kini telah menjadi kawasan putih.

Namun, Tati mengakui bahwa tidak ada proses perubahan yang instan, termasuk menyangkut sikap mental religius warga. "Tapi, dengan berdirinya JIC, kini ada fasilitas umat untuk bersama-sama berubah menjadi lebih baik dan bermoral," tutur dia.

JIC memang telah memberikan warna lain yang lebih tenang dan sejuk. Berbagai aktivitas keagamaan pun menjadi menu utama di sana, terlebih pada bulan Ramadan. Mulai pesantren kilat, pengkajian ilmu agama, tadarus Alquran, buka puasa bersama, hingga ceramah agama.

Pada hari-hari biasa, pelataran masjid yang luas dan dilengkapi fasilitas jaringan free wireless connection itu menjadi ruang yang dinikmati penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang wisatawan lokal datang untuk sekadar menikmati arsitekstur masjid yang memang indah.

Meski demikian, itu tidak berarti praktik prostitusi di lokasi tersebut lenyap sama sekali. Tati yang juga seorang mantan pekerja seks komersial itu menuturkan pada hari-hari tertentu masih ada belasan wanita malam yang nekat mangkal di sekitar lokasi tersebut. "Apalagi masih ada beberapa kafe yang tetap buka sampai sekarang," terang wanita yang kini beralih pekerjaan sebagai pedagang makanan itu.

Seorang takmir Masjid JIC, Inang Mulki, menceritakan, sejak fasilitas masjid dan kompleks Islam itu diresmikan pada 2003, warga setempat mulai merumuskan langkah untuk mengusir para kupu-kupu malam dari lokasi mangkal mereka. Berbagai cara ditempuh agar praktik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu berhenti. "Warga seperti saya dulu memang bekerja di sini (lokalisasi). Tapi, setelah semua tutup, kami sadar bahwa harus ada perubahan," terangnya.

Beberapa langkah itu, antara lain, memasang lampu penerangan yang lebih banyak di sepanjang Jalan Kramat Raya. Selain itu, warga juga mengintensifkan patroli di bibir-bibir trotoar untuk mengusir para PSK yang lazimnya berpartner dengan para tukang ojek di sekitar jalan tersebut. "Itu berlangsung sejak 2004. Kami didukung Pemda Jakarta Utara," tutur pria 30 tahun itu.

Sebagai penduduk yang sempat bekerja dan menjadi bagian dari lokalisasi, Inang mengaku sama sekali tidak menyesal dengan penghapusan pusat prostitusi itu. Bahkan, dia bahagia lingkungannya bisa terbebas dari apa yang disebut kawasan merah. "Buktinya, sekarang saya bisa bekerja di JIC dan berpenghasilan halal dari pekerjaan ini. Kalau dibandingkan dulu, kondisi saya sekarang jauh lebih baik," paparnya sambil berpamitan untuk mengepel lantai masjid yang tampak berdebu. "Keburu Magrib, Mas."

Saat lokalisasi Kramat Tunggak masih eksis, Inang kerja serabutan di sana. Mulai dari tukang parkir hingga tukang angkut barang-barang kebutuhan warga lokalisasi.

JIC sendiri dikelilingi oleh perkampungan padat yang terbilang kumuh. Rumah-rumah penduduk dibangun saling berdempetan dengan gang-gang sempit. Aroma got memenuhi hampir seluruh gang sempit itu. Sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah itu merupakan warga pendatang.

Di sepanjang Jalan Kramat Raya sendiri terdapat beberapa bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat karaoke dan diskotek. Kini bangunan itu mangkrak dan beberapa di pagar tinggi dipasang plakat "tanah sengketa”.

Menurut Inang, banyak juga di antara bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat pendukung kegiatan mesum yang beralih fungsi. Di antaranya, salon-salon dan tempat perawatan tubuh berubah menjadi konter handphone atau bahkan toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok. Selain itu, banyak tempat laundry bagi para PSK yang tutup. Pemiliknya beralih pekerjaan menjadi pedagang. Hal itu, terang dia, dimungkinkan karena lokasi Kramat Tunggak memang berdekatan dengan Pasar Koja Baru dan pusat perbelanjaan Ramayana. "Jadi, nggak perlu pusing-pusing cari kerjaan lain, sudah disediakan sama yang di Atas," tuturnya.

Juga banyak warga sekitar yang bekerja di JIC. Jumlahnya kira-kira 200 orang. Mereka pekerja keamananan sampai cleaning service. Sebelumnya, pemda juga berinisiatif merangkul warga dengan merekrut pekerja bangunan yang mayoritas dari penduduk sekitar. "Mungkin karena metodenya merangkul, jadi penolakan hampir tak ada," kata pria bertubuh mungil itu.

Daftar Kota surga Seks Bebas dan Pelacuran di Dunia

Kota yang Melegalkan Seks Bebas dan Pelacuran Paling Maksiat di Dunia. cocok sebagai tujuan studi banding

1. Pattaya – Thailand

Pattaya adalah surga seks ternyaman di dunia. Wajar saja, pertunjukan seks dan kabaret transeksual merupakan pemancing turis yang legal di kota yang terletak di pesisir Teluk Thailand, sebelah tenggara Bangkok ini. Tidak harus menunggu malam jika ingin menghabiskan waktu dengan pelacur. Mereka 24 jam bisa ditemui dan diajak berkencan. Ada juga para waria cantik jelita yang beredar di sepanjang jalur wisata

2. Tijuana – Mexico

Ada zona “merah” di tijuana, disebut “La Coahuila”. Mulai dari prostitusi, drugs, strips clubs, dll dilegalkan dan begitu mUrah.

3. Amsterdam – Belanda

Live seks bisa dilihat di kota ini, marijuana dan semacamnya semuanya legal.

4. Las Vegas – Nevada

Judi bisa ditemui dimana-mana. Prostitusi walaupun tidak explisit telah legal, tapi sudah dianggap legal. Judi dan Seks sudah menjadi industri.

5. Rio de janeiro – Brazil

Rumah Bordil sudah menjadi legal disini.

6. Moscow – Rusia

Macam-macam night club ada disni, mulai yang hardcore sampai yang slow ada disini semua.

7. New Orleans – Lousiana

Setelah tragedi badai Katrina, kota ini berubah total, menjadi kota termaksiat urutan 7. Tidak kapok-kapok.

8. Manama – Bahrain

Disebut sebagai “Tempat Pesta Paling Tenang di Timur Tengah”

9. Macau – Cina

Venetian, Wynn and MGM hotel casinos punya cabang di Macau. Seks, jangan ditanya lagi gan!

10. Berlin – Jerman

Kota ini juga melegalkan prostitusi. Mau berdansa di club kemudian ngeseks di tempat, silahkan.

Jumat, 26 November 2010

Uganda : Idi Amin Sang Jenderal Haus Darah

Kendati hanya merupakan negara kecil di Afrika, nama Uganda sangat populer di dunia internasional. Tokoh yang memopulerkan Uganda hanya satu orang, Idi Amin. Uganda menjadi sangat terkenal ketika Jenderal Idi Amin Dada Oumee melancarkan kudeta terhadap presiders Milton Abote pada 1971. Yang membuat terkenal Uganda adalah sepak terjang Idi Amin saat memimpin negaranya dengan tangan besi, brutal dan selalu diwarnai banjir darah. Untuk meng­gambarkan 1di Amin yang kejam itu media massa bahkan sampai memberitakan jika pemimpin Uganda ini masih mempraktek­kan tradisi makan daging manusia, kanibal.

Asal usul Idi Amin sendiri cukup unik dan kebrutalannya seolah terhapus oleh masa mudanya yang banyak meninggalkan kesan menyenangkan. Tapi sosok militer yang dikenal jenaka dan jago tinju itu dalam perjalanan hidupnya ternyata banyak menimbulkan petaka. Padahal semasa masih kecil dan remaja, Idi Amin lebih banyak diasuh oleh ibunya yang berasal dari suku pekerja keras. Awalnya Amin dan ibunya tinggal di kawasan penduduk yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh di perkebunan gula. Pola hidup Idi Amin masih nomaden dan selalu berpindah dari kamp ke kamp.

Masa depan hidup Idi Amin mulai menunjukkan kejelasan ketika pada 1946, dirinya diterima sebagai tentara bagian dapur di King’s African Rifles (KAR). Resimen tentara Inggris seperti Gurkha yang waktu itu masih berkuasa di Afrika. Meskipun dalam kemampuan akademis prestasi Idi Amin sangat pas-pasan, di bidang olahraga, tentara tinggi besar dan periang ini ternyata menunjukkan keunggulan. Khususnya dalam olahraga yang kemudian membuatnya terkenal, tinju. Berkat prestasinya di bidang olahraga dan mampu melakukan pendekatan terhadap perwira Inggris, pada 1958, Amin sudah berpangkat sersan mayor dan menjabat komandan peleton. Selain itu, Amin juga selalu jadi jawara di tinju kelas berat Uganda dan makin populer. Tahun 1961, Amin diberi pangkat Leman, pangkat yang hanya disandang oleh dua orang Uganda, mengingat perwira militer KAR masih didominasi tentara Inggris. Sebagai perwira militer yang disenangi orang Inggris, Amin juga dikenal sebagai seorang prajurit yang kejam. Salah satu bukti kekejamannya adalah ketika Amin mendapat tugas untuk membereskan suku pencuri ternak, Turkana, yang bersem­bunyi di negara tetangga Uganda, Kenya.

Pasukan Amin membantai sebuah desa yang ditinggali suku Turkana tanpa pandang bulu. Aksi pembantaian An sebenarnya diketahui militer Inggris dan sanksi keras pun akan dijatuhkan kepada Amin. Karena Uganda akan diberi ke­merdekaan oleh Inggris hanya beberapa bulan lagi dan Perdana Menteri Uganda, Milton Abote, ternyata membela Amin, sanksi pun dibatalkan. Setelah Uganda merdeka pada 1963, Abote malah me­naikkan pangkat Amin menjadi kolonel dan memberikan jabatan sebagai deputi komandan AD Berta AU Uganda.

Kolusi antara Abote dan Amin membuat keduanyaberoposisi dengan Raja Uganda, King Mutesa, sehingga situasi politik dan ekonomi Uganda mengalami goncangan. Apalagi Abote saat itu malah menaikkan pangkat Amin menjadi mayor jenderal dan menjabat komandan AU dan AD Uganda. Ketidakpuasan di kalangan militer pun merebak. Tabun 1969 sebuah upaya kudeta dan usaha pembunuhan Abote yang didalangi Brigjen Perino Okoya berhasil digagalkan. Tak lama kemudian Brigjen Perino dan istrinya ditembak coati oleh pembunuh gelap di rumahnya. Pem­bunuhan Brigjen Perino yang dalangnya masih simpang-siur itu ternyata membuat hubungan Abote dan Amin merenggang. Pasalnya, Abote mencurigai Amin berada dibalik pembunuhan dan kudeta Perino. Januari 1971 ketika Abote sedang menghadiri konferensi negara persemak­muran di Singapura, apa yang dikhawatir­kannya terjadi. Tanga diduga Amin melancarkan kudeta. Abote memilih tak pulang ke ibukota Uganda, Kampala dan terbang menuju negara sahabatnya, Tanzania. Di negara sahabatnya itu, diam-diam Abote menyusun kekuatan. Begitu Amin berkuasa, Uganda segera dilanda banjir* darah.

Amin memerintahkan untuk mem­bunuh semua perwira militer dan tentara yang masih mendukung Abote. Ribuan jiwa tentara melayang termasuk 32 perwira militer yang tewas saat ruang tahanannya diledakkan menggunakan dinamit. Amin juga mengusir semua orang Asia yang berwarga negara Inggris termasuk keturunannya yang lahir dan telah menjadi warga negara Uganda. Inggris, Australia, Selandia Baru dan negara-negara persemakmuran Inggris jumlahnya ribuan di Uganda jadi kalang kabut. Mereka segera berlomba mengungsi­kan warganya karena terancam pembantaian. Sebaliknya keputusan ngawur Idi Amin dan aksi pembantaiannya ter­hadap semua rivalnya menjadi berita yang sangat populer di seluruh dunia.

Akibat keputusan Amin itu, Uganda dalam waktu singkat menjadi negera terbelakang dan miskin. Pasalnya selama ini roda perekonomian Uganda dipegang para pendatang. Uganda bahkan dikenal sebagai negara hitam tanpa hukum dan kondisinya terns merosot.

Tahun 1979, pemerintahan Idi Amin akhirnya tumbang setelah dikudeta oleh tentara nasionalis Uganda yang didukung Tanzania. Amin melarikan diri ke Libya dan selanjutnya mendapatkan suakapolitik di Jedah, Arab Saudi. lull 2003, Idi Amin meninggal di Jedah. Rakyat Uganda menolak permintaan istri Amin yang menginginkan jasad suaminya dikubur di tanah kelahirannya.

Perang Korea 1950 - 1953

Kolonel Lee Hak Ku, Perwira operasi Korps II dari Inmun Gun atau Tantara Rakyat Korea Utara harus bekerja keras. Karena sejak 15 Juni 1950, sebagian besar divisi regular Korut telah digerakkan dari tempat masing-masing menuju posisi barn di sepanjang perbatasan garis Lintang ke-38, yang membelah Semenanjung Korea menjadi dua negara. Kolonel senior ini sibuk mengatur penempatan pasukan di lapangan maupun merampungkan pekerjaan administrasi yang menumpuk. Baru pads sabtu 24 Juni, ketika hari mulai gelap, Kolonel Lee dapat sedikit santai menikmati rokoknya. Sementara itu Panglima Inman Gun, Jenderal Choi Yong Gun

beserta stafnya juga lega atas keberhasilan pemindahan besar-besaran tentaranya secara diam-diam.

SELURUH pasukan yang dialihkan itu tak kurang dari tujuh divisi infanteri yang terdiri dari 90.000 personel (dari 138.000 tentara Korut), ditambah tiga divisi cadangan, satu brigade tank T,4 buatan Rusia, satu resimen pasukan bersepeda motor, satu resimen infanteri berdiri sendiri, dan lima brigade Bo An Dae atau pasukan penjaga perbatasan. Mereka didukung satuan senjata berat, baik meriam, howitzer, mortir clan sebagainya. Lebih ke belakang, pesawat tempur Yak dan pengebom-tempur Ilyushin disiapkan di pangkalan masing-masing. Para prajurit diberitahu bahwa mereka akan melakukan latihan perang, namun para perwira inti sudah paham bahwa yang bakal terjadi adalah perang betul.

Pada 22 Juni, keluar perintah operasi agar pasukan dari Divisi ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4 mengarahkan serangan ke koridor Uijongbu yang langsung menuju ibukota Korea Selatan, Seoul. Sebagai pembuka serangan adalah pasukan tank. Sedangkan divisi lainnya bergerak di wilayah timur. Sabtu malam 24 Juni, Kolonel Lee di posnya merokok terus seraya mendengarkan bunyi hujan yang mengguyur kawasan sekitarnva. la sulit memejamkan matanya yang sudah yang sudah memerah, karena tahu apa yang bakal terjadi dalam beberapa jam mendatang. Sampai memasuki subuh Minggu 25 Juni, gerimis masih jatuh dari langit.

dalam suasana serba dingin dan basah, tepat pukul 04.00 semua meria dan senjata berat lain yang disiapkan Inmun Gun, tiba-tiba bergemuruh, menghujani posisi Korsel dengan tembakan tanpa henti. Bunyi dentuman meriam dan ledakan peluru saling bersahut-sahutan. Tentara Korsel yang kebanyakan masih lelap dalam tidur, kaget dan berantakan memperoleh serangan tak dinyana ini. Pendadakan Korut ini memang berhasil karena pemindahan tentaranya ke perbatasan tidak pernah terdeteksi oleh Korsel maupun AS yang memiliki cukup banyak penasihat militer di Korsel. (Pada saat invasi dimulai pukul 04.00 Minggu 25 Juni waktu setempat, maka di Washington DC masih hari Sabtu 24 Juni pukul 15.00 sore).

Setelah hujan tembakan senjata berat mereda, Lee Hak Ku berkata, “Manzai”. Kata ini diulangi oleh para stafnya. Maka tank-tank pun mulai menderum, menggelinding maju, rantainya mencipratkan lumpur ke mana-mana, namun dengan mudahnya meluncur di tanah yang basah dan penuh genangan air. Di belakang tank-tank, pasukan infanteri dengan seragam coklat kekuningan berhamburan seraya berteriak-teriak mengobarkan semangat. Mereka cepat bergerak ke selatan, menyeberangi garis perbatasan.Serangan utama tentara Korut adalah ke Lembah Ch’orwon yang menuju ke koridor Uijongbu, gerbang utama ke Seoul. Divisi ke-7 yang merupakan kekuatan satu-satunya Korsel di kawasan ini, langsung merasakan hantaman musuh. Sekitar pukul 08.30 seorang penviranva menghubungi Kementerian Pertahanan di Seoul via radio, meminta bantuan segera karena musuh terns merangsek maju, sulit ditahan. Apalagi pasukan Korsel tidak dilengkapi senjata anti-tank.

Meski rencana serbuan amfibinya dinilai berbahaya dan impossible, Douglas MacArthur tetap yakin pada pendiriannya. Meniru serangan Normandia, setelah mendarat di Inchon pada petang 13 September 1950, puluhan ribu tentara PBB langsung menggempur posisi Tentara Rakyat Korea Utara. Didukung Uni Soviet, mereka telah menguasai hampir seluruh wilayah Korea Selatan. Jenderal bintang lima yang mahir bertempur ini seolah tahu apa yang akan dilakukan lawan. Hanya dalam beberapa hari, 70.000 tentara Korea Utara telah mengepung Pusan berhasil dipukul mundur dan dikalahkan.

Gempuran dari arah belakang itu benar-benar niengagetkan tentara Korea Utara. Sama mengejutkan ketika tentara dan tank T-34 Korea Utara tiba-tiba melangkahi perbatasan Korea Selatan pada 25 Juni 1950. Baik pimpinan Korea Sclatan, AS, maupun PBB tak habis pikir, mengapa Korea Utara sampai berani menginvasi Korea Selatan. Biasanya yang terjadi hanya penyusupan kecil-kecilan. “Itu artinya perang melawan PBB seru Sekjen PBB Trygve Lie. Tampa kehadiran delegasi Uni Soviet dan China, sidang Dewan Keamanan digelar dan kontak senjata di Semanjung Korea pun berkobar.

Meski melibatkan kesatuan tempur darat, udara, laut dan marinir dari 22 negara dan menawaskan lebih dari lima juta perang, uniknya, perang Korea hanya dianggap sebagai angin lalu.

Lukisan Cat Minyak Tertua di Dunia Ditemukan

Anggapan selama ini bahwa lukisan minyak ditemukan di Eropa terbantahkan oleh sebuah penemuan yang luar biasa di lembah Bamiyan, Afghanistan.

Pada tahun 2001 Taliban menghancurkan dua patung kolosal Buddha kuno di daerah Bamiyan Afghanistan, sekitar 140 mil barat laut Kabul.

Patung yang muncul dari tebing batu pasir pada abad keenam dan, ukurannya sampai 55 meter, adalah yang terbesar.

Meskipun gua dihiasi mural berharga dari abad ke-5 sampai abad ke-9 Masehi juga tidak luput dari serangan Taliban di Situs Warisan Dunia ini. Namun hal ini menjadi fokus penemuan besar, mengakibatkan ditemukannya lukisan minyak Buddha yang mendahului Renaisans Eropa selama ratusan tahun.

Para ilmuwan telah membuktikan, berkat uji coba yang dilakukan European Synchrotron Radiation Facility di Grenoble, bahwa cat yang digunakan adalah berbasis minyak, ratusan tahun sebelum teknik tersebut 'diciptakan' di Eropa, ketika seniman menemukan mereka bisa menggunakan pigmen pengikat pengering minyak, seperti minyak biji rami.

Mural menunjukkan penampilan Buddha dalam jubah merah terang duduk bersila menegakkan telapak tangan ke atas. Motif lain tampil membungkukkan badan, laki-laki saling berhadapan atau telapak tangan saling terkait.

Lusinan lukisan di 50 gua dengan teknik lukisan minyak menggunakan minyak biji kenari dan biji poppy, demikian hasil penelitian Ms. Yoko Taniguchi dari National Research Institute for Cultural Properties di Tokyo, bekerjasama dengan Restoration of the French Museums Perancis - CNRS,Perancis, Getty Institut Conservation.

"Ini adalah contoh awal lukisan minyak di dunia,meskipun pengeringan minyak telah digunakan jaman Romawi dan Mesir kuno,tetapiitu hanya sebagai obat dan kosmetika ", kata Ketua Tim, Taniguchi.

Saya percaya setiap orang akan terkejut karena kami percaya lukisan minyak diciptakan di Eropa. Kami tidak bisa percaya teknik seperti itu bisa ada di beberapa gua Buddha jauh di pedalaman.

Kombinasi teknik untuk mempelajari lukisan sangat penting untuk menyimpulkan bahwa lukisan menggunakan minyak, kata Dr Marine Cotte, salah satu tim.

"Kami memerlukan teknik yang berbeda untuk mendapatkan gambaran penuh," sambungnya.

Hasil penelitian menunjukkan keragaman yang tinggi dari pigmen serta pengikat dan ilmuwan mengidentifikasi bahan asli dan senyawa campuran. Selain dari lapisan cat berbasis minyak, beberapa lapisan terbuat dari resin alami, protein, getah, dan dalam beberapa kasus, perekat damar, pernis sebagai lapisan.

Protein material dasar menunjukkan penggunaan lem atau telur. Dalam berbagai pigmen, para ilmuwan menemukan penggunaan yang banyak putih timbal. Karbonat ini sering digunakan, sejak jaman dahulu hingga zaman modern,tidak hanya dalam lukisan tetapi juga di kosmetik sebagai pemutih wajah.

Lukisan-lukisan ini mungkin karya seniman yang bepergian di jalan Sutra, rute perdagangan kuno antara Tiongkok, melintasi padang pasir Asia Tengah ke Barat. Lainnya awal peradaban termasuk di saat Iran, Tiongkok, Turki, Pakistan dan India mungkin telah menggunakan teknik yang mirip tapi reruntuhan mereka belum menujukkan rentetan yang sama dari penelitian. http://erabaru.net/sejarah/56-sejarah/18747-lukisan-cat-minyak-tertua-di-dunia-di-afghanistan

Kamis, 25 November 2010

Nasib Eks Pengungsi Merapi : Yang Penting Ada Garam dan Cabai...

Empat warga bercakap-cakap di teras sebuah rumah di Desa Ngemplakseneng, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, Kamis (25/11/2010) siang. Kegelisahan tampak di wajah mereka saat membahas perpanjangan masa darurat bencana Merapi. Artinya, kesusahan dalam hidup mereka turut diperpanjang.

Mereka adalah Sugeng (45), Minto Wiyono (60), Mulyanto (39), dan pemilik rumah, Kadi Suyono (54). Setelah pulang dari pengungsian, setiap hari mereka berkumpul. ”Mau apa lagi, wong kami masih menganggur,” kata Sugeng.

Keempat warga itu biasa bekerja sebagai buruh serabutan, pekerjaan mayoritas di desa itu. Ada yang ikut menambang pasir, membuat bangunan, atau ikut menggarap sawah.

Sejak Merapi meletus, mereka tidak lagi bekerja karena harus mengungsi dan menyelamatkan keluarganya. Setelah pulang, mereka belum bisa bekerja karena aktivitas ekonomi di desa itu masih lumpuh.

Desa Ngemplakseneng yang berjarak sekitar 12 kilometer dari puncak Merapi, itu sepi. Jalan di desa itu masih berantakan karena pohon-pohon di pinggir jalan yang bertumbangan belum dibersihkan.

Di tengah kondisi seperti itu, Sugeng dan warga lainnya berusaha bertahan hidup. Dengan uang yang masih tersisa, mereka membeli makanan dan menghematnya dengan berbagai cara. ”Jatah makanan dari posko pengungsian sudah habis,” kata Sugeng yang kembali ke rumahnya pada Kamis (18/11/2010). Dia mendapat beras 3 kilogram dan setengah dus mi instan.

Sugeng bersyukur masih mendapat jatah daging kurban Idul Adha. Namun, daging itu hanya cukup untuk disantap selama lima hari. Setelah daging kurban dan jatah dari posko habis, Kadi membeli beras dari uang yang tersisa. ”Kalau satu kilogram beras biasanya buat satu hari, sekarang bisa sampai tiga hari. Pokoknya harus irit,” katanya.

Dia dan keluarganya menyantap nasi dengan mi instan dari posko pengungsian. Setelah mi instan habis, Kadi bingung. ”Sing penting ono uyah karo lombok wis cukup (yang penting ada garam dan cabai sudah cukup),” katanya.

Keadaan sedikit membaik ketika pasukan TNI ditugaskan menjaga desa tersebut. Tentara itu memakai rumah Kadi sebagai pos jaga. Pada saat makan, para tentara itu mengundang beberapa warga untuk makan bersama.

Namun, hal itu hanya berlangsung empat hari sejak Senin (22/11/2010). Setelah itu, anggota TNI itu diperintahkan berjaga di pos di Desa Balerante yang berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Merapi. Mereka meninggalkan rumah Kadi pada Kamis siang itu. ”Wah, kami jadi enggak tahu mau makan apa malam ini,” kata Kadi.

Beban warga bertambah ketika mendapat tagihan listrik. ”Ya belum saya bayar karena saya tidak punya uang,” kata Sugeng yang harus membayar listrik sebesar Rp 30.000 untuk tagihan bulan November.

Kadi juga belum membayar tagihan listrik sebesar Rp 50.500. ”Biar saja, nanti meteran di rumah saya dicabut juga tidak apa-apa,” katanya.

Sugeng dan Kadi juga bercerita bahwa akan ada pasokan beras untuk masyarakat miskin. Namun, mereka harus membayar Rp 4.500 untuk dua kilogram beras. Warga mengeluh karena sepertinya tidak ada keringanan bagi mereka. Semuanya harus dibayar. Saat ini tidak ada bantuan dari pemerintah yang mereka dapat.

Mahluk-mahluk Homoseksual

Manusia bukan satu-satunya mahluk yang, sebagian, menyukai sesama jenis. Peneliti menyatakan ada lebih dari 450 binatang yang punya kecenderungan homoseksual. Mulai dari monyet di atas pohon sampai lumba-lumba di bawah permukaan laut. Berikut 10 hewan yang suka dengan sesama jenis:

1. Burung Guianan Cock (Rupicola rupicola)
Persentase homoseksualitas di burung berbulu merah ini sangat tinggi. Sebanyak 40 persen pejantan mereka melalap sesamanya. Dan sebagian dari jumlah itu tercatat tidak pernah menyentuh betina seumur hidupnya.

2. Paus Abu-abu (Eschrichtius robustus)
Melihat hewan raksasa ini menyembur air ke udara, terlihat indah dan menggemaskan. Tapi mungkin saja yang anda saksikan adalah bagian dari ritual pesta seks mereka. Paus abu-abu suka berhubungan seks ramai-ramai, semuanya jantan, dengan bergelut-gelut di bawah permukaan air sehingga alat kelamin mereka saling bergesekan. Lalu menyemburkan air ke udara.
3. Singa Laut (Odobenus rosmarus)
Singa laut jantan baru berhubungan badan dengan betina saat dewasa atau empat tahun. Sebelum mencapai masa itu, mereka terlibat dalam hubungan asmara sejenis.
Singa laut jantan yang sudah dewasa umumnya biseksual: berhubungan dengan betina di musim kawin, dan menghabiskan sisa tahun bersama jantan-jantan muda. Caranya dengan saling menggesek badan dan tidur bareng di air.
4. Angsa (Cygnus)
Ini contoh pasangan sesama jenis yang mampu membina keluarga. Hampir seperempat dari total anak-anak angsa diasuh "ayah dan ibu" jantan. Pasangan angsa yang suka sesama jenis hanya membutuhkan betina untuk kawin. Setelah betina bertelur, pejantan bersama pasangannya mengusir si betina dan mengerami telur-telur yang ditinggalkannya.

5. Antelop
Pada hewan bertanduk ini juga suka sesama jenis terutama betina. Jumlahnya mencapai 9 persen dari total aktivitas seksual.
6. Jerapah (Giraffa camelopardalis)
Satu dari 20 jerapah jantan adalah gay. Mereka bersenang-senang dengan saling melilit leher dan berujung pada tindih-tindihan. Dalam banyak kelompok jerapah, aktivitas homoseksual tercatat lebih banyak ketimbang heteroseksual.
7. Lumba-lumba (Tursiops truncatus)
Hampir semua lumba-lumba jantan adalah biseksual. Mereka kawin dengan betina di musim kawin, lalu jadi pecinta sesama jenis waktu lain. Mamalia laut yang menggemaskan ini menggemari oral seks, menggunakan moncong untuk menyenangkan pasangan gay-nya. Cara lain lewat berenang dan saling menggesekan tubuh ke pasangannya.

8. Bison
Badannya besar dan boleh dibilang sangar. Tapi tingkat homoseksual di hewan ini sangat tinggi. Lebih dari 55 persen bison muda lebih memilih sesama jantan ketimbang betina mereka. Perilaku ini juga berlaku selama musim kawin, dimana bison betina cuma berahi setahun sekali. Di musim kawin, bison jantan berhubungan dengan jantan lainnya beberapa kali sehari.

9. Kera Makaka (Macaca fascicularis)
Baik makaka jantan dan betina penyuka sesama jenis. Uniknya, yang betina cenderung memelihara hubungan asmara mereka jangka panjang. Sementara jantannya lebih doyan ganti pasangan saban habis bercinta.

10. Bonobo (Pan paniscus)
Nyaris seluruh bonobo alias simpanse kerdil merupakan biseksual. Saking doyannya mereka bersetubuh, setiap ada pertikaian diselesaikan dengan bercinta. Aktivitas homoseksual didominasi betina, dengan jumlah mencapai dua per tiga.

Aneka Jenis Mahluk Penggemar Masturbasi

Sejumlah penelitian menemukan ternyata Manusia bukan satu-satunya mahluk yang doyan masturbasi, banyak binatang juga suka bermasturbasi. Berikut adalah sepuluh mahluk yang menyalurkan kebutuhan biologisnya lewat masturbasi:

1. Monyet
Mahluk ini merupakan "saudara" terdekat manusia dalam kerajaan binatang. Maka tak heran perilakunya mirip. "Masturbasi dilakukan hampir oleh semua primata," ujar Biologis Universitas Bristol Inggris Gareth Jones seperti dikutip Livescience.

2. Gajah
Binatang bongsor ini gemar menggesek penisnya ke batu. Sekedar info, penis gajah berbentuk seperti "S" dengan panjang mencapai 1,5 meter dan garis lingkarnya 16 sentimeter.

3. Landak
Memasuki masa kawin, landak betina sering terlihat menggesek kelaminnya di berbagai obyek, seperti batang pohon atau kawat pembatas kandang.
4. Tupai
Pada September 2010 peneliti mengamati perilaku masturbasi pada tupai. Mereka masturbasi sampai ejakulasi dan kemudian menelan spermanya. "Menelan sperma dapat mencegah hilangnya kelembaban tubuh," kata Jane Waterman dari Universitas Florida, AS.

5. Kura-kura
Kura-kura jantan doyan menggesek penisnya ke batu. Jika sudah orgasme, dia kerap mengeluarkan suara cericit.

6. Singa Laut.
Binatang penuh lemak ini tergolong canggih dalam masturbasi. Jika hewan lain sebatas menggesek kemaluan, badan singa laut yang lentur memungkinkannya melakukan oral seks secara swadaya.

7. Burung
Burung, baik jantan atau betina, sering menggesek saluran kelamin mereka, yang dikenal dengan cloaca. Biasanya mereka memanfaatkan batang pohon, bisa juga tangan manusia bagi burung peliharaan. "Masturbasi menyehatkan karena jadi pelepasan yang alamiah," kata Dokter Hewan Marge Wissman di birdchannel.com

8. Kuda
Kuda betina bermasturbasi dengan menggesek vagina ke benda seperti pot bunga, dan lainnya. Sementara kuda jantan bisa ejakulasi swadaya dengan menjepit penis di bawah perutnya. Studi membuktikan kuda yang sering masturbasi tidak mengurangi kemampuannya dalam proses pembuahan.

9. Anjing
Meski jarang sampai ejakulasi, anjing doyan masturbasi dengan menggesek kemaluannya. Anjing jantan kadang menyodok kaki majikannya untuk sebagai pelampiasan hasrat seksual. Menjilati kemaluan juga bagian dari cara mereka masturbasi.

10. Manusia
Ya, manusia alias homo sapiens. Berbeda dengan "saudara"-nya di kerajaan animal, homo sapiens merupakan mahluk dengan daya capai orgasme paling tinggi dalam masturbasi. Soal cara, tidak bisa ditulis di sini.

Catatan Sejarah Kegempaan di Daerah Jogjakarta dan sekitarnya

Pada tanggal 27 Mei 2006, terjadi gempa bumi di sekitar daerah Jogjakarta. Gempa terjadi di pagi hari tepatnya pada waktu 5:53:58 WIB. Pusat gempa terletak pada koordinat 7,962° LS dan 110,458° BT, kurang lebih 20 km sebelah tenggara Jogjakarta atau 455 km sebelah tenggara Jakarta dengan kedalaman cukup dangkal yaitu 10 kilometer. Gempa yang terjadi berkekuatan 6.3 Mw. Kekuatan gempa bumi yang tergolong cukup kuat ini, kemudian terjadinya di daratan (inland) mengakibatkan timbulnya kerusakan gedung, bangunan dan infrastruktur lainnya yang cukup parah di daerah Jogjakarta, Bantul, dan sekitarnya, serta cukup banyak menelan korban jiwa.

Menurut hasil catatan survey, lebih dari 6000 orang meninggal dunia, dan sekitar 50.000 ribu orang mengalami cedera. Sementara itu 86.000 rumah hancur dan kurang lebih sebanyak 283.000 rumah mengalami kerusakan dengan masing-masing tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan. Kerusakan bangunan paling parah terdapat disekitar Bantul, Imogiri, Piyungan, dan Klaten. Kejadian gempa ini tergolong bencana nasional, dan memberikan rentetan catatan kelam bencana di negeri Indonesia, setelah sebelumnya terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di bumi Nangro Aceh Darussalam, Nias, dan tempat-tempat lainnya.

Sebenarnya kalau kita melihat catatan sejarah, ternyata telah terjadi beberapa kali gempa di daerah Jogjakarta dan sekitarnya dengan kekuatan yang cukup merusak. Pada tahun 1867 terjadi gempa yang memberi catatan korban meninggal dan luka-luka yang cukup banyak, dan meninggalkan kerusakan pada bangunan dan infrastruktur pada daerah yang cukup luas. Pada tahun 1943 terjadi lagi gempa bumi yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 213 orang (31 korban meninggal di Jogjakarta), 2800 rumah hancur, dan daerah yang mengalami kerusakan paling parah yaitu Kebumen dan Purworejo. Pada tahun 1981 terjadi kembali gempa di daerah Jogjakarta dan sekitarnya, meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa dan kerusakan parah pada bangunan.


Cukup banyaknya korban jiwa, dan kehilangan materi memperlihatkan masih lemahnya sistem pemantauan bencana gempa bumi yang ada di negara kita ini. Padahal semenjak terjadinya bencana alam gempa bumi yang diiringi tsunami di Nangro Aceh tahun 2004, pemerintah telah mencanangkan upaya early warning sistem bencana alam gempa bumi dan tsunami. Mungkin kita masih perlu waktu untuk terus mengkaji, mempersiapkan, dan memulai secara aktif program pemantauan dan mitigasi bencana alam khususnya gempa bumi dan tsunami.

Apabila kita menengok catatan sejarah tersebut secara teliti, kemudian apabila kita mencermati mekanisme gempa yang sifatnya berulang (earthquake cycle), maka bukan tidak mungkin kita dapat mengupayakan mitigasi dengan baik, berupaya meminimalkan dampak kerugian yang dapat ditimbulkan oleh gempa bumi tersebut. Kegiatan “sedia payung sebelum hujan” ini mungkin dapat diwujudkan dengan sokongan dari adanya penelitian, penerapan teknologi, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain.

Tak Ada Bantuan ,Cari Makan, Warga Nekat Menambang

Ancaman banjir lahar dingin dari Gunung Merapi tak menyurutkan nyali warga untuk menambang pasir. Meskipun material lahar dingin mulai menyentuh alur Kali Woro di Kecamatan Kemalang, warga terus menyerbu. Pasalnya, mereka tidak mendapat bantuan atau jaminan hidup seperti yang didengungkan pemerintah.

”Pulang dari pengungsian makan nasi lauk garam. Uang tidak ada, jadi terpaksa menambang lagi,” ungkap Jinu, warga Dusun Narum, Desa Tlogowatu, Kecamatan Kemalang, Klaten, Kamis (25/11), saat ditemui di alur Kali Woro, Desa Kendalsari, Kecamatan Kemalang.

Dikatakannya, warga sepulang dari barak ada yang diberi bekal mi dan beras sedikit. Setelah digunakan mencukupi kebutuhan keluarga sehari langsung ludes. Sehingga untuk menyambung hidup, warga nekat ke sungai.

Meski ancaman letusan dan banjir lahar mengadang, warga tidak punya pilihan lain. Pergi ke tegalan tidak lagi ada yang bisa diharapkan, sebab tanaman dikotori abu vulkanik. Untuk menjual pohon bagi yang sudah usia tebang hanya bisa dilakukan bagi yang punya pohon.

Ada sebagian warga yang meminjam uang ke tetangga atau kerabat, tetapi tetangga dan kerabat sama nasibnya. Dengan kondisi itu warga tidak punya pilihan lain, selain menambang pasir di jarak rawan. Meski nekat, kata dia, warga tetap waspada dan penambangan hanya berlangsung sampai siang, meskipun sebelum meletus berlangsung 24 jam.

Menurut Mitro, warga Desa Kandalsari, dia nekat membuka warungnya yang ada di tengah kali, sebab kepepet untuk mencari makan. ”Katanya ada bantuan di desa lain, tetapi tidak merata,” ungkapnya.

Tak Tersentuh

Bantuan sembako setelah warga pulang memang ada, tetapi yang mendapatkan hanya orang tertentu. Warga di daerah terpencil tak tersentuh. Selama empat hari pulang ke rumahnya, dari desa atau Pemkab tak ada droping kebutuhan pokok. Padahal warga sangat membutuhkan di saat aktivitas belum pulih. Satu-satunya harapan warga hanyalah ke sungai mencari pasir.

Bagaimana dengan jaminan hidup? Dia mengaku belum mendengar ada sosialisasi jaminan hidup. Bahkan warga tidak terlalu berharap dalam waktu dekat, sehingga yang penting bisa memenuhi kebutuhan. Nekatnya warga ke alur sungai semakin memancing kedatangan truk pancari pasir.

Meski batas zona rawan dijaga ketat Polri/ TNI, truk pencari pasir mencari jalan-jalan tikus digunakan agar lolos. Tak hanya truk lokal, truk dari luar kota mulai menyerbu meski radius 10 km masih dinyatakan berbahaya. Bahkan anggota Polres Klaten yang datang ke lokasi meminta warga naik, tetap tak digubris.

Saat polisi datang warga pergi, tetapi setelah petugas pergi warga kembali. Kondisi alur Kali Woro sendiri mulai diwarnai material lahar dingin. Meski ketebalannya belum mencapai setengah meter, tetapi material lahar dingin berupa pasir halus sudah menjangkau Kali Woro.

Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas, Sri Winoto SH mengatakan, status Gunung Merapi masih level awas dan masa tanggap darurat diperpanjang. Mestinya semua aktivitas warga dalam radius 10 km harus steril. ”Alur Kali Woro merupakan jalur utama lahar dingin, sehingga harus bersih dari aktivitas sesuai radiusnya,” ungkapnya.

Pemkab sendiri kewalahan mengatasi praktik penambangan. Penambangan yang memegang izin menurutnya bisa dikenakan sanksi, tetapi penambangan tradisional tidak mungkin dilakukan. Pemkab hanya bisa mengawasi dan mengimbau selama status awas.

Menurut Kabag Perekonomian, Drs Sri Sumanto, di Pemkab ada sisa logistik yang bisa digunakan. Pemkab akan mengirim bahan kebutuhan dengan membuat ajuan diketahui camat. Pemkab sudah mendrop bahan kebutuhan yang diperlukan warga terutama bahan yang tidak tahan lama. ”Desa bisa melapor ke camat dan akan didrop,” ungkapnya.


http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/25/71399/Tak-Ada-Bantuan-Warga-Serbu-Kali-Woro

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/25/71482/Cari-Makan-Warga-Nekat-Menambang

Pulang dari Pengungsian Beras, Habis Warga Makan Bekatul

Kondisi sulit yang menimpa warga lereng Merapi membuat mereka tak keberatan makan apa saja, termasuk bekatul. Hal ini dialami warga Dusun Gondang, Desa Paten, Kecamatan Dukun seusai mereka pulang dari lokasi pengungsian.

Menurut Teguh Dwi Riyadi (33), tokoh pemuda Dusun Gondang, bekatul merupakan ampas penggilingan padi. Bahan ini biasanya digunakan untuk campuran pakan ternak. Namun dengan pengolahan tertentu, bekatul ini bisa menjadi sumber makanan warga untuk menggantikan beras.

Dijelaskan, warga Gondang sudah tidak memiliki persediaan beras lagi. Hal ini karena lahan pertanian milik warga rusak total setelah tertimbun material vulkanik Merapi. Baik padi maupun sayuran semua hangus dan tak bisa dipanen.

“Lumayan Mas untuk mengganjal perut yang lapar. Sebenarnya kalau mau enak tinggal di pengungsian saja karena apa-apa sudah dicukupi. Namun kami juga harus memikirkan masa depan kami. Kami harus mulai menggarap sawah lagi,” kata dia saat menerima bantuan logistik dari relawan PKS Jateng.

Warga dibantu satu mobil bantuan berisi beras, susu, makanan bayi dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Di dusun ini setidaknya ada 450 KK dengan 1.473 jiwa di mana mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. “Sekarang semua hasil pertanian sudah rusak. Paling cepat butuh tiga bulan untuk bisa mengembalikan kondisi lahan seperti dulu. Makanya kami mulai dari sekarang,” kata Teguh.

Humas relawan PKS Jateng, Agung Setia Bakti mengatakan, pihaknya langsung turun ke lapangan ketika mendengar laporan ancaman kelaparan penduduk yang telah pulang kampung. “Penduduk yang pulang ke rumahnya harus juga segera dipikirkan penangananya. Jangan sampai bencana Merapi berlanjut menjadi bencana ekonomi,” terang Agung.


Pemkab Bantah Ada Warga Makan Bekatul

Pemkab Magelang melakukan investigasi terhadap informasi warga Dusun Gondang, Desa Paten, Kecamatan Dukun, yang makan bekatul (SM CyberNews, 24/11), mulai dari masyarakat sampai aparat kecamatan.

Dalam siaran persnya hari ini, Kabag Humprot Drs Djanu Trepsilo MM mengemukakan, Gondang termasuk rawan bencana Merapi. Tetapi Teguh Dwi Riyadi, warga Gondang menolak mengungsi dengan alasan keamanan harta benda rumah mertuanya, Sutar, imam masjid Gondang. “Saat Merapi erupsi, mertuanya mengungsi ke Magersari, Magelang. Sedangkan Teguh tetap kerja sebagai penyiar Radio Pop FM Jogja, sehingga tak mungkin tiap hari dia makan bekatul,” simpulnya.

Dari keterangan Kades Paten Bambang Suherman, sedikitnya empat warga yang menolak mengungsi dengan alasan menjaga keamanan dusun.

Terkait dengan bekatul, kebanyakan masyarakat desa itu memang memiliki stok bekatul yang cukup banyak untuk pakan sapi dan ayam. Selama Merapi erupsi, memang ada beberapa warga, terutama pemuda yang pulang, untuk mengurus ternak serta lahan pertanian. “Berusaha menyelamatkan sisa-sisa panenan yang terkena abu vulkanik,” ujarnya.

Mereka pulang untuk itu, atas izin aparat atau pengelola TPS/TPA (Tempat Pengungsian Sementara/Tempat pengungsian Akhir) dengan membawa bekal dari tempat pengungsian serta pulang lagi ke pengungsian pada tengah hari. Sehingga tidak mungkin mereka makan bekatul. “Tidak benar ada pengungsi dari Paten makan bekatul, karena semua ditangani dengan baik oleh pengelola TPS/TPA di 14 titik, di Kecamatan Mungkid, Borobudur dan Mertoyudan,” tandas Camat Dukun, Ali Setyadi BA.

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/24/71397/Pulang-dari-Pengungsian-Warga-Makan-Bekatul

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/11/25/71435/Pemkab-Bantah-Ada-Warga-Makan-Bekatul

Rabu, 24 November 2010

Gunung Guntur (gede), Garut Jawa Barat

Gunung Guntur adalah salah satu dari 17 gunungapi di Jawa Barat. Gunungapi andesitik yang bertipe strato ini terletak 35 Km di sebelah Tenggara kota Bandung atau lebih tepatnya terletak di kota Garut. Puncak Gunung Guntur terletak pada koordinat 7o 8’ 52.8’’ LS dan 107o 50’ 34.8’’ BT dengan ketinggiannya adalah 2249 m di atas permukaan laut.
Gunung Guntur merupakan kompleks besar gunungapi yang dibentuk oleh beberapa kerucut, kawah, dan kaldera (Matahelemual, 1989). Berdasarkan sejarah letusannya Gunung Guntur pertama meletus pada tahun 1690 dan letusan terakhir pada tahun 1847. Letusan Gunung Guntur yang terbesar terjadi pada tahun 1840 dimana lava yang keluar mengalir hingga Cipanas yang berjarak 3 Km dari kawah Gunung Guntur
Gunung Guntur merupakan salah satu gunung berapi paling aktif pada dekade 1800-an. Tapi sejak itu aktivitasnya kembali menurun. Erupsi Gunung Guntur pada umumnya disertai dengan lelehan lava, lapili dan objek material lainnya. Erupsi Gunung Guntur yang tercatat adalah pada tahun 1847, 1843, 1841, 1840, 1836, 1834-35, 1833, 1832, 1832, 1829, 1828, 1827, 1825, 1818, 1816, 1815, 1809, 1807, 1803, 1800, 1780, 1777, 1690
Gunung Guntur dapat dicapai dari Kota Bandung menuju Kota Garut (55 km) dengan waktu tempuh 2 jam. Pendakian ke puncak/kawahnya dapat dilakukan dari Kampung Citiis sebelah selatan Gunung Guntur, dengan waktu tempuh 3 - 4 jam. Untuk menuju Kampung Citiis bisa dilakukan dari Kota Garut (3 km) dengan menggunakan kendaraan roda 4 (empat). Berdasarkan data demografi, pemukiman di sekitar Gunung Guntur umumnya berada pada ketinggian 600m - 1000m dpl. Pemukiman ini sebagian besar terkonsentrasi di kaki tenggara dan selatan serta sebagian kecil di kaki timur dan utara

Ribuan warga di Kabupaten Garut, Jawa Barat, terancam banjir bandang dan longsoran jutaan kubik material Gunung Api Guntur. Ancaman bencana itu diakibatkan oleh rusaknya kawasan cagar alam di sekitar kaki gunung.

Pemukiman warga yang dapat terkena longsoran itu diantaranya warga Kecamatan Tarogong Kaler, Tarogong Kidul, Samarang dan warga di Kecamatan Banyuresmi. “Bencana longsor mengancam warga,” ujar Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Garut, Edi Muharam, kepada Tempo, Selasa (2/11).

Menurut Edi, besarnya potensi longsor material Gunung Api Guntur itu diakibatkan oleh gundulnya kondisi gunung yang sudah sangat mengkhawatirkan. Jumlah area cagar alam yang rusak itu mencapai 500 hektar.

Kondisi itu pun diperparah dengan maraknya galian pasir ilegal yang telah hampir memakan sepertiga kaki gunung guntur. Bahkan lubang bekas galian itu dibirakan menganga tanpa ada perbaikan. Kerusakan itu dapat dilihat dari pusat kota Garut yang berjarak sekitar 6 kilometer dari gunung.

Karena itu, masyarakat dihimbau untuk selalu waspada bila terjadi hujan. Curah hujan diatas 50 milimeter perhari dengan waktu selama tiga hari dapat membuat tanah jenuh dan menimbulkan longsor. Apalagi kontur tanah Gunung Guntur merupakan batuan lepas sisa endapan longsoran yang terjadi pada 1979 silam. “Akibat kondisi ini beberapa waktu lalu sekitar bulan April dan Mei, lima desa di sekitar gunung Guntur dilanda banjir bandang bercampur pasir,” ujar Edi.

Sebelumnya, Pusat Vulkanologi Mitigasi dan Bencana Geologi telah memperingatkan kemungkinan terjadinya banjir dan longsor material Gunung Guntur yang mengancam perumahan warga di sejumlah desa di Kecamatan Tarogong Kaler, termasuk kawasan objek wisata Cipanas. Bahkan Vulkanologi merekomendasikan desa yang berada di sekitar kaki Gunung Guntur untuk dikosongkan.

Permukiman yang harus dikosongkan itu, diantaranya Desa Rancabango, Langensari dan Kelurahan Pananjung. Soalnya daerah tersebut rawan kerentanan gerakan tanah tinggi. Pemukiman itu berada di zona berbahaya satu yang berjarak sekitar dua kilometer dari Cagar Alam Gunung Guntur. Pemukiman itu sedikitnya dihuni oleh 5.644 jiwa atau 1.664 Kepala Keluarga.

Ironisnya, rekomendasi vulkanologi itu hingga kini ini belum juga digubris oleh pemerintah Kabupaten Garut. Bahkan pengembangan kawasan pemukiman dan wisata air panas di kawasan objek wisata Cipanas terus dilakukan. Sejumlah hotel baru bermuculan di kawasan itu.

Kepala Dinas Perumahan, Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Garut, Deni Suherlan, mengaku telah melakukan sosialisasi akan ancaman longsor tersebut kepada warga dan pengusaha. Namun tetap saja tidak digubris. Bahkan sejumlah hotel baru berdiri dikawasan Cipanas.

Disinggung terkait izin pendirian bangunan, Deni mengaku semua pemukiman termasuk penginapan dan hotel di objek wisata cipanas, telah mengantongi izin sesuai aturan. “Izin tetap kami berikan tapi dengan risiko ancaman longsor yang harus ditanggunggung mereka sendiri,” ujarnya.

http://www.tempointeraktif.com/hg/bandung/2010/11/02/brk,20101102-288849,id.html

Sejarah Erupsi Gunung Merapi

Tipe erupsi Gunung Merapi dapat dikategorikan sebagai tipe Vulkanian lemah. Tipe lain seperti Plinian (contoh erupsi Vesuvius tahun 79) merupakan tipe vulkanian dengan daya letusan yang sangat kuat. Erupsi Merapi tidak begitu eksplosif namun demikian aliran piroklastik hampir selalu terjadi pada setiap erupsinya. Secara visual aktivitas erupsi Merapi terlihat melalui proses yang panjang sejak dimulai dengan pembentukan kubah lava, guguran lava pijar dan awanpanas (pyroclastic flow).

Merapi termasuk gunungapi yang sering meletus. Sampai Juni 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Secara rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2 – 5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5 – 7 tahun. Merapi pernah mengalami masa istirahat terpanjang selama >30 tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunungapi. Memasuki abad 16 kegiatan Merapi mulai tercatat cukup baik. Pada masa ini terlihat bahwa waktu istirahat terpanjang pernah dicapai selama 71 tahun ketika jeda antara tahun 1587 sampai dengan tahun 1658.

Sejarah letusan gunung Merapi mulai dicatat (tertulis) sejak tahun 1768. Namun demikian sejarah kronologi letusan yang lebih rinci baru ada pada akhir abad 19. Ada kecenderungan bahwa pada abad 20 letusan lebih sering dibanding pada abad 19. Hal ini dapat terjadi karenapencatatan suatu peristiwa pada abad 20 relatif lebih rinci. Pemantauan gunungapi juga baru mulai aktif dilakukan sejak awal abad 20. Selama abad 19 terjadi sekitar 20 letusan, yang berarti interval letusan Merapi secara rata-rata lima tahun sekali. Letusan tahun 1872 yang dianggap sebagai letusan terakhir dan terbesar pada abad 19 dan 20 telah menghasilkan Kawah Mesjidanlama dengan diameter antara 480-600m. Letusan berlangsung selama lima hari dan digolongkan dalam kelas D. Suara letusan terdengar sampai Kerawang, Madura dan Bawean. Awanpanas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Merapi yaitu Apu, Trising, Senowo, Blongkeng, Batang, Woro, dan Gendol. Awanpanas dan material produk letusan menghancurkan seluruh desa-desa yang berada di atas elevasi 1000m. Pada saat itu bibir kawah yang terjadi mempunyai elevasi 2814m (;bandingkan dengan saat ini puncak Merapi terletak pada elevasi 2968m). Dari peristiwa-peristiwa letusan yang telah lampau, perubahan morfologi di tubuh Gunung dibentuk oleh lidah lava dan letusan yang relatif lebih besar. Gunung Merapi merupakan gunungapi muda. Beberapa tulisan sebelumnya menyebutkan bahwa sebelum ada Merapi, telah lebih dahuiu ada yaitu Gunung Bibi (2025m), lereng timurlaut gunung Merapi. Namun demikian tidak diketahui apakah saat itu aktivitas vulkanik berlangsung di gunung Bibi. Dari pengujian yang dilakukan, G. Bibi mempunyai umur sekitar 400.000 tahun artinya umur Merapi lebih muda dari 400.000 tahun. Setelah terbentuknya gunung Merapi, G. Bibi tertimbun sebagian sehingga saat ini hanya kelihatan sebagian puncaknya. Periode berikutnya yaitu pembentukan bukit Turgo dan Plawangan sebagai awal lahirnya gunung Merapi. Pengujian menunjukkan bahwa kedua bukit tersebut berumur sekitar maksimal 60.000 tahun (Berthomrnier, 1990). Kedua bukit mendominasi morfologi lereng selatan gunung Merapi.

Pada elevasi yang lebih tinggi lagi terdapat satuan-satuan lava yaitu bukit Gajahmungkur, Pusunglondon dan Batulawang yang terdapat di lereng bagian atas dari tubuh Merapi. Susunan bukit-bukit tersebut terbentuk paling lama pada, 6700 tahun yang lalu (Berthommier,1990). Data ini menunjukkan bahwa struktur tubuh gunung Merapi bagian atas baru terbentuk dalam orde ribuan tahun yang lalu. Kawah Pasarbubar adalah kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas Merapi sebelum terbentuknya puncak.

Diperkirakan bahwa bagian puncak Merapi yang ada di atas Pasarbubar baru terbentuk mulai sekitar 2000 tahun lalu. Dengan demikian jelas bahwa tubuh gunung Merapi semakin lama semakin tinggi dan proses bertambahnya tinggi dengan cepat nampak baru beberapa ribu tahun lalu. Tubuh puncak gunung Merapi sebagai lokasi kawah aktif saat ini merupakan bagian yang paling muda dari gunung Merapi. Bukaan kawah yang terjadi pernah mengambil arah berbeda-beda dengan arah letusan yang bervariasi. Namun demikian sebagian letusan mengarah ke selatan, barat sampai utara. Pada puncak aktif ini kubah lava terbentuk dan kadangkala terhancurkan oleh letusan. Kawah aktif Merapi berubah-ubah dari waktu ke waktu sesuai dengan letusan yang terjadi. Pertumbuhan kubah lava selalu mengisi zona-zona lemah yang dapat berupa celah antara lava lama dan lava sebelumnya dalam kawah aktif Tumbuhnya kubah ini ciapat diawali dengan letusan ataupun juga sesudah letusan. Bila kasus ini yang terjadi, maka pembongkaran kubah lava lama dapat terjadi dengan membentuk kawah baru dan kubah lava baru tumbuh dalam kawah hasil letusan. Selain itu pengisian atau tumbuhnya kubah dapat terjadi pada tubuh kubah lava sebelumnya atau pada perbatasan antara dinding kawah lama dengan lava sebelumnya. Sehingga tidak mengherankan kawahkawah letusan di puncak Merapi bervariasi ukuran maupun lokasinya. Sebaran hasil letusan juga berpengaruh pada perubahan bentuk morfologi, terutama pada bibir kawah dan lereng bagian atas. Pusat longsoran yang terjadi di puncak Merapi, pada tubuh kubah lava biasanya pada bagian bawah yang merupakan akibat dari terdistribusikannya tekanan di bagian bawah karena bagian atas masih cukup kuat karena beban material.

Lain halnya dengan bagian bawah yang akibat dari desakan menimbulkan zona-zona lemah yang kemudian merupakan pusat-pusat guguran. Apabila pengisian celah baik oleh tumbuhnya kubah masih terbatas jumlahnya, maka arah guguran lava masih dapat terkendali dalam celah yang ada di sekitarnya. Namun apabila celah-celah sudah mulai penuh maka akan terjadi penyimpangan-penyimpangan tumbuhnya kubah. Sehingga pertumbuhan kubah lava yang sifat menyamping (misal, periode 1994 – 1998) akan mengakibatkan perubahan arah letusan. Perubahan ini juga dapat terjadi pada jangka waktu relatif pendek dan dari kubah lava yang sama. Pertumbuhan kubah lava ini berkembang dari simetris menjadi asimetris yang berbentuk lidah lava. Apabila pertumbuhan menerus dan kecepatannya tidak sama, maka lidah lava tersebut akan mulai membentuk morfologi bergelombang yang akhirnya menjadi sejajar satu sama lain namun masih dalam satu tubuh. Alur pertumbuhannya pada suatu saat akan mencapai titik kritis dan menyimpang menimbulkan guguran atau longsoran kubah. Kronologi semacam ini teramati pada th 1943 (April sampai Mei 1943).

Penumpukan material baru di daerah puncak akibat dari pertumbuhan kubah terutama terlihat dari perubahan ketinggian maksimum dari puncak Merapi. Beberapa letusan yang dalam sejarah telah mengubah morfologi puncak antara lain letusan periode 18221823 yang menghasilkan kawah berdiameter 600m, periode 1846 – 1848 (200m), periode 1849 (250 – 400m), periode 1865 – 1871 (250m), 1872 – 1873 (480 – 600 m), 1930, 1961.
sumber: http://www.merapi.bgl.esdm.go.id/informasi_merapi.php?page=informasi-merapi&subpage=sejarah

Letusan Gunung Toba di Sumatera, Nyaris Mengakibatkan Manusia Punah Dari Muka Bumi.

Kajian palaeogeografi ahli asal AS mengetengahkan temuan terkini tentang letusan dahsyat gunung Toba di Sumatera yang menyajikan bukti tak terbantahkan betapa letusan “mega-colossal” gunung berapi zaman purbakala yang terjadi 73.000 tahun silam menimbulkan dampak dahsyat luar biasa hingga memusnahkan keberadaan kawasan hutan di anak benua India yang letaknya terpisah sejauh 3.000 mil dari pusat letusan yang kini menjadi danau Toba.

Bukti-bukti riset mencakup debu sampel penelitian yang ditemukan di lokasi daratan India, Samudera Hindia, Teluk Benggali, dan laut China Selatan dari kejadian letusan yang diperkirakan melontarkan material dan debu vulkanis hingga sejumlah 800 km³ ke atmosfir bumi dan membuat gunung berapi zaman purbakala tersebut lenyap tinggal meninggalkan kawah di muka bumi yang kini menjadi danau Toba dengan dimensi panjang 100km dan lebar 35km menjadi bukti peninggalan danau vulkanis terbesar sejagat.

Digambarkan kedahsyatan dampak letusan ini menjadikan partikel debu pada lapis atmosfir menghalangi sinar matahari ke bumi serta memantulkan kembali panas radiasi hingga selama selang 6 tahun hingga serta merta memunculkan zaman “Instant Ice Age” di muka bumi yang berdasarkan analisa penelitian lapisan es di Greenland zaman es ini berlangsung selama 1.800 tahun.

Jika ditelaah dari data skala VEI : (Volcanic Explosivity Index) yang dipergunakan USGS (Geological Survey Amerika Serikat), letusan luar biasa gunung Toba zaman purbakala ini diklasifikasikan kategori VEI : 8 hingga disebut “mega-colossal” yang antara lain dicirikan dari besaran volume lontaran material vulkanis letusan -/+ 1.000 km³.

Sebagai perbandingan letusan g. Tambora (th. 1815) di kepulauan Nusa Tenggara termasuk dalam skala VEI : 7 , sedangkan peristiwa dahsyat letusan g. Krakatau (th.1883) hingga tinggal menyisakan pulau Anak Krakatau sekarang ini termasuk dalam VEI : 6.

Pada gilirannya letusan “mega-colossal” gunung berapi Toba berdampak pula terhadap proses evolusi manusia di muka bumi, walau ini masih menjadi kontroversi diantara kalangan ilmuwan.

Prof. Ambrose sendiri berpegang kajian risetnya yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah “Journal of Human Evolution” pada tahun 1998 termasuk ahli yang meyakini bahwa letusan mega volcanoToba dan kemunculan Zaman Es sesudahnya menjadikan keadaan relatif kurangnya keragaman genetika yang ada pada manusia modern sekarang ini.

Bahkan dinyatakannya peristiwa luar biasa ini nyaris mengakibatkan manusia punah dari muka bumi.

Gunung Laki Islandia

Laki adalah sebuah gunung api di Islandia yang legendaris yang telah tertidur sejak letusan terakhirnya yang sangat dahsyat di tahun 1783. Dengan ketinggian 1.725 meter, gunung api ini menyebabkan kerusakan di seluruh negara ketika secara spektakuler meletus, membunuh di atas 50% populasi makhluk hidup di Islandia dengan awan belerang dan fluorine beracunnya.

Kelaparan menjadi penyebab matinya 25% populasi tersebut. Air mancur lahar memancar hingga 1.400 meter tingginya. Seluruh dunia merasakan akibat dari letusan tersebut. Awan beracun menyebar hingga ke Eropa, menutupi langit belahan bumi bagian utara yang menyebabkan musim dingin datang lebih awal di Inggris dan membunuh 8.000 orang.

Di Amerika Utara, musim dingin 1784 menjadi musim dingin terpanjang dan paling dingin yang pernah tercatat. Ada catatan lebih banyak salju di New Jersey, sungai Mississippi membeku di New Orleans, dan di ditemukan es di Teluk Mexico!.

Gunung Vesuvius

Gunung api ini menjadi nomor dua untuk kekejamannya, menyebabkan kematian hingga 25,000 nyawa. Ketika Vesuvius dengan letusan yang maha dahsyat di tahun 79 SM, sepenuhnya telah menguburkan kota Pompeii di bawahnya dengan memuntahkan ‘isi perutnya’ selama 20 jam nonstop. Sejak itu, gunung api ini meletus lusinan kali dan terakhir pada tahun 1944 beberapa desa didekatnya telah dibinasakan

gunung Tambora , Indonesia

Tambora adalah gunung api aktip dari 130-an gunung api yang yang ada di Indonesia. Gunung raksasa setinggi 4,300 meter telah ‘melakukan’ serangkaian ledakan dari April hingga Juni di tahun 1815 dan mengguncangkan dunia dengan after-effect-nya yang mengubah stratosfir dan menyebabkan kelaparan yang buruk hingga ke US dan Eropa pada abad ke 19.

Batu merah berpijar menghujani angkasa ketika sepenuhnya gunung tersebut meletus. Semua tumbuh-tumbuhan pada pulau dimana gunung tersebut berada dibinasakan oleh lahar dan awan beracun. Secara keseluruhan, lebih 71,000 orang tewas karena terbakar, kelaparan ataupun keracunan.

Gunung Krakatau, Selat Sunda, Indonesia

Krakatau, adalah pulau vulkanis yang still-dangerous, terletak di Selat Sunda, Indonesia. Pada tahun 1883, meletus dengan mengeluarkan energi setara 200 megaton TNT atau 13,000 kali Little Boy, bom atom yang meremukkan Hiroshima di Jepang pada 1945. Ledakkan Krakatau mengakibatkan 36,417 orang tewas, 165 permukiman hilang dari permukaan bumi, dan 132 desaporak poranda. Letusan Krakatau juga memicu terjadinya tsunami yang terasa hingga Hawaii dan pantai barat Amerika, suara ledakkan terdengar sampai Perth di sebelah Timur yang berjarak 3,110 kilometer dan di sisi barat penduduk di Rodrigues, dekat Mauritius yang berjarak 5,000 kilometer bisa mendengar suara letusan Krakatau. Ini berarti sekitar seperdelapan penduduk planet bumi bisa mendengar gelegar suara Krakatau

Usai ledakan, planet ini sempat gelap tertutup abu vulaknis yang menutupi atmosfer. Sinar mentari tidak mampu menembus tebalnya debu yang beterbangan. pada 1927 sebuah gunung “menjebul” lahir dari bekas lokasi Gunung Krakatau. Dia dinamakan Anak Krakatau.

hari Sabtu 27 Oktober 2007 kemarin setelah pada tanggal 26 Oktober 2007, sampai dengan pukul 06:00 terekam 32 kejadian gempa vulkanik dalam dan 11 kejadian gempa vulkanik dangkal serta 68 kejadian gempa letusan. Akhirnya status G. Anak Krakatau dari Waspada (Level II) ke Siaga ( Level III). Status ini dinaikkan mengingat akibat dari letusan krakatau yang mengagetkan dunia ditahun 1883

Gunung kakatau memang sering mengundang kontroversi karena letusannya ditahun 1883. Letusan ini merubah bentuk gunung yang sebelumnya berupa kerucut menjadi anak-anak krakatau yang jauh lebih kecil. Sedangkan pasca letusan 1883 Pulau gunung ini hanya tersisa kurang dari seperlima luasnya seperti

dibawah ini ada artikel bagus dari majalah bacaanku sejak kecil di Jogja yaitu Majalah intisari tahun 1982. Yang arsipnya sendiri justru saya temukan didalam diskusi IAGI beberapa tahun yang lalu.

Krakatau – Lebih Hebat dari Bom Atom !!

Taken from August 1982 edition of Intisari Magazine
http://www.intisari-online.com

Tanggal 27 Agustus nanti akan genap seratus sembilan belas tahun letusan dahsyat Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27 Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.

Dikira Meriam Apel

Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.

“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.”

“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.”

“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”

“Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”

“Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru saja
mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!”

Batavia Jadi Dingin

“Sementara itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”

“Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.”

“Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat masih terdegar suara gemuruh.”

“Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam – mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.”

“Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis.”

“Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!”

“Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: ‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.’”

“Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”

“Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu.”

“Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus.”

Serang Sunyi Mencekam

Kalau di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, tapi di daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu, akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar. Sembilan buah desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 Cina dan Timur Asing lainnya.

Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau. Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya. Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewatpukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta terputus. Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering tetap turun.

Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan tertekan. Hewan peliharaan juga makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di dekat lampu. Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang langit mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun terus-menerus dan bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu masih dinyalakan.

Surat-surat kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan 4 September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah dari saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer, dan Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda yang melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.

Ketika Siuman Semua Gelap

Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang bertugas membawa telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini mungkin yang terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan di Betawi, yang menyebutkan bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan keesokan harinya, sebagian Merak yang lebih rendah letaknya, Pecinan, jalan kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan dan derek-derek masih di tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.

Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi sebelum ia mencapai puncaknya, ia sudah terkejar air pasang. Apa yang terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…

Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap.

Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun tak dijumpainya� semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia. Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14 m hanya tinggal lantainya saja.

Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung

Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman Patih dan Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.

Caringin yang berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal yang kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang
melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.

Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

“Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu.”

“Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.”

“Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal…”

“Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras. Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.”

“Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda
bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras…”

Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api

“Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda kehidupan di kota kecil itu…”

“Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon sempat melakukan manouvre untuk menghindar, sehingga gelombang itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak terbendung…”

“Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung kini hanya air belaka…”

“Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan cepat dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara telah digantikan…”

“Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter.”

“Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut…”

Api Santo Elmo

“Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti
bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa terbakar.”

“Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”

“Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal
mereka segera akan sampai.”

“Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.”

“Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.”

“Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali. Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.”

“Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.”

“Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian…”

“Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan…”

“Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.”

Hujan Lumpur

“Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang berada di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak mendengar dentuman-dentuman itu.”

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat. Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu bara, gudang di dermaga, dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina. Gudang Garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.

Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya tenang. Sementara orang-orang yang sempat mengungsi ke tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau
untuk melihat keadaan.

Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan kayu-kayuan, dan melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.

Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw,
mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.

Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah, terutama adalah yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.

Terjepit Dua Rumah

Seorang Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1883 sebagai berikut:

“Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah telah mempercepat jadwal kunjungannya. Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Saya segera kembali ke rumah.”

“Baru saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Kemudian air surut
lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”

“Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir…”

“Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”

“Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah.’”

“Baru saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir!
Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang itu agar berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut sehingga semuanya tenang kembali…”

“Ketenangan itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.”

“Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya
tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.”

“Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap. Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Kemudian
Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi…”

“Dengan batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja,
barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.”

Kontrolir Berteriak Minta Tolong

“Akhirnya Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup lumpur sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya. Saya berjalan dalam keadaan kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”

“Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari sungai besar.’ Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”

“Tak lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak: ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu, tapi kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih gelap gulita…”

“Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami mencapai desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.”

“Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan.”

“Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu dan selop.”

Hujan Batu Apung Membara dan Abu Panas

Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan Residen. Termasuk Van Zulyen, klerk griffier pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda yang tewas. Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan, 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.

“Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan, dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga ikut meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”

Antar pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil memgungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Rajabasa. Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul sebelas hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang.
Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri saat mengenai kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar. Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Beyerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka mendengar bahwa kontrolir dan keluarganya mengungsi di Umbul Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kedirie bertolak ke Jakarta.

Tersangkut Di Pohon

Kapal bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya seorang kakek yang berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang, yang kemudian dirawat di rumah sakit umum di Jakarta. Dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa Belanda ia mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

“Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak jauh dari rumah saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada sehari-hari, tetapi saya tidak melihat gelombang atau hal lain yang mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya melihat air menggulung dari kejauhan, warnanya hitam dan tingginya menyerupai gunung. Saya hendak melarikan diri, tetapi sudah tak keburu sebab air telah mencapai saya, sehingga saya terseret.

Mujurnya, saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon itu sampai ke puncaknya. Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya seperti tibanya tadi. Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap bertengger di pohon, tak berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam air pasang tak kembali lagi, barulah saya perlahan-lahan merosot ke bawah. Tetapi saya tak mampu berjalan karena cedera akibat hempasan gelombang tadi. Jadi saya duduk dan rebah di bawah pohon penyelamat itu beberapa hari dan beberapa malam dalam keadaan antara sadar dan tidak, seperti terbius, tanpa mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya.

Tentu saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai suatu pagi, saya sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri saya, lalu mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh sebuah kapal api yang membawa saya kemari.”

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.

Bulan dan Matahari Berwarna-Warni

Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas dan gas beracun tak tercatat. Dari laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari Minggu pukul 18.000, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling banyak. Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh gelombang yang terakhir itu.

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang. Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km.

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi. Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengkibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit. Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang-gemilang, matahari dan bulan berwarna, dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau.

Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau “Lebih hebat dari bom atom.” Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedangkan korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini. Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian