Tampilkan postingan dengan label prostitusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label prostitusi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 November 2010

Jejak Sejarah Pelacuran di Indonesia, sejak Mataram hingga NKRI

Pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22). Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.

Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.

Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro (1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).

Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al. (1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir.

Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI, dalam Hull; 1997:3).

Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.

Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).

Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).

Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6).

Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).

Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6).

Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6).

Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebun an di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem.

Hull juga menambahkan, (1997:7) di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah.

Kramat Tunggak: Bekas PSK Jadi Pedagang, Tukang Parkir Jadi Takmir Masjid

Kawasan Kramat Tunggak pernah menjadi pusat prostitusi terbesar di Jakarta. Setelah diratakan dengan tanah pada akhir 1999, kawasan merah itu kini menjadi salah satu pusat dakwah Islam di ibu kota.

TATI masih ingat betul rutinitas di kampung tempat dirinya tinggal sepuluh tahun silam. Tiap malam menjelang, musik dangdut dan house music beradu dengan tawa renyah wanita-wanita berpenampilan seksi dan menor. Ratusan wisma dengan lampu temaram penuh dengan pasangan pria dan wanita yang bercanda mesra. Asap rokok dan bau minuman keras menemani keceriaan semu mereka.

Begitulah suasana malam kampung Kramat Tunggak sebelum 31 Desember 1999. Saat itu, kawasan tersebut masih merupakan lokasi prostitusi terbesar di ibu kota. Lokalisasi itu menjadi gantungan hidup 1.615 wanita tunasusila, 258 germo, 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, serta 155 tukang ojek dan tukang cuci.

Kini kondisi Kramat Tunggak sudah berubah total. "Wisma-wisma yang dihuni penjaja seks dan mucikari sudah lenyap. Wanita penjaja seks juga banyak yang pergi walau sebagian kecil masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi," tutur Tati, wanita berjilbab berusia 56 tahun itu.

Ya, melalui surat keputusan Gubernur Sutiyoso, lokalisasi di kawasan Jakarta Utara tersebut resmi ditutup pada 31 Desember 1999 menyusul protes dari para penduduk sekitar. Setelah itu, seluruh wisma, diskotek, dan bar yang berdiri di atas lahan 10,9 hektare itu diratakan dengan tanah. Tamatlah riwayat kawasan merah yang beroperasi sejak 1972 tersebut.

Kini wajah Kramat Tunggak berubah total. Lokasi yang dulu menjadi pusat prostitusi itu sekarang menjadi bangunan Jakarta Islamic Centre (JIC) yang berdiri megah dengan masjid besar di tengahnya. Masjid seluas 78 x 78 meter itu dibangun dengan biaya Rp 111,998 miliar dan mampu menampung 20 ribu jamaah, dengan 50 saf.

Bangunan JIC yang berdiri kukuh dengan menara menjulang ke langit seakan-akan menjadi pertanda bahwa Kramat Tunggak sekarang dan mendatang menjanjikan kedamaian yang sesungguhnya. Tempat pengumbar nafsu itu kini telah menjadi kawasan putih.

Namun, Tati mengakui bahwa tidak ada proses perubahan yang instan, termasuk menyangkut sikap mental religius warga. "Tapi, dengan berdirinya JIC, kini ada fasilitas umat untuk bersama-sama berubah menjadi lebih baik dan bermoral," tutur dia.

JIC memang telah memberikan warna lain yang lebih tenang dan sejuk. Berbagai aktivitas keagamaan pun menjadi menu utama di sana, terlebih pada bulan Ramadan. Mulai pesantren kilat, pengkajian ilmu agama, tadarus Alquran, buka puasa bersama, hingga ceramah agama.

Pada hari-hari biasa, pelataran masjid yang luas dan dilengkapi fasilitas jaringan free wireless connection itu menjadi ruang yang dinikmati penduduk sekitar. Bahkan, tidak jarang wisatawan lokal datang untuk sekadar menikmati arsitekstur masjid yang memang indah.

Meski demikian, itu tidak berarti praktik prostitusi di lokasi tersebut lenyap sama sekali. Tati yang juga seorang mantan pekerja seks komersial itu menuturkan pada hari-hari tertentu masih ada belasan wanita malam yang nekat mangkal di sekitar lokasi tersebut. "Apalagi masih ada beberapa kafe yang tetap buka sampai sekarang," terang wanita yang kini beralih pekerjaan sebagai pedagang makanan itu.

Seorang takmir Masjid JIC, Inang Mulki, menceritakan, sejak fasilitas masjid dan kompleks Islam itu diresmikan pada 2003, warga setempat mulai merumuskan langkah untuk mengusir para kupu-kupu malam dari lokasi mangkal mereka. Berbagai cara ditempuh agar praktik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu berhenti. "Warga seperti saya dulu memang bekerja di sini (lokalisasi). Tapi, setelah semua tutup, kami sadar bahwa harus ada perubahan," terangnya.

Beberapa langkah itu, antara lain, memasang lampu penerangan yang lebih banyak di sepanjang Jalan Kramat Raya. Selain itu, warga juga mengintensifkan patroli di bibir-bibir trotoar untuk mengusir para PSK yang lazimnya berpartner dengan para tukang ojek di sekitar jalan tersebut. "Itu berlangsung sejak 2004. Kami didukung Pemda Jakarta Utara," tutur pria 30 tahun itu.

Sebagai penduduk yang sempat bekerja dan menjadi bagian dari lokalisasi, Inang mengaku sama sekali tidak menyesal dengan penghapusan pusat prostitusi itu. Bahkan, dia bahagia lingkungannya bisa terbebas dari apa yang disebut kawasan merah. "Buktinya, sekarang saya bisa bekerja di JIC dan berpenghasilan halal dari pekerjaan ini. Kalau dibandingkan dulu, kondisi saya sekarang jauh lebih baik," paparnya sambil berpamitan untuk mengepel lantai masjid yang tampak berdebu. "Keburu Magrib, Mas."

Saat lokalisasi Kramat Tunggak masih eksis, Inang kerja serabutan di sana. Mulai dari tukang parkir hingga tukang angkut barang-barang kebutuhan warga lokalisasi.

JIC sendiri dikelilingi oleh perkampungan padat yang terbilang kumuh. Rumah-rumah penduduk dibangun saling berdempetan dengan gang-gang sempit. Aroma got memenuhi hampir seluruh gang sempit itu. Sebagian besar penduduk yang mendiami wilayah itu merupakan warga pendatang.

Di sepanjang Jalan Kramat Raya sendiri terdapat beberapa bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat karaoke dan diskotek. Kini bangunan itu mangkrak dan beberapa di pagar tinggi dipasang plakat "tanah sengketa”.

Menurut Inang, banyak juga di antara bangunan yang dulu berfungsi sebagai tempat pendukung kegiatan mesum yang beralih fungsi. Di antaranya, salon-salon dan tempat perawatan tubuh berubah menjadi konter handphone atau bahkan toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok. Selain itu, banyak tempat laundry bagi para PSK yang tutup. Pemiliknya beralih pekerjaan menjadi pedagang. Hal itu, terang dia, dimungkinkan karena lokasi Kramat Tunggak memang berdekatan dengan Pasar Koja Baru dan pusat perbelanjaan Ramayana. "Jadi, nggak perlu pusing-pusing cari kerjaan lain, sudah disediakan sama yang di Atas," tuturnya.

Juga banyak warga sekitar yang bekerja di JIC. Jumlahnya kira-kira 200 orang. Mereka pekerja keamananan sampai cleaning service. Sebelumnya, pemda juga berinisiatif merangkul warga dengan merekrut pekerja bangunan yang mayoritas dari penduduk sekitar. "Mungkin karena metodenya merangkul, jadi penolakan hampir tak ada," kata pria bertubuh mungil itu.