"IBU harap menyiapkan peti mati, dua meter kain putih, dan dua meter plastik." Begitu kata-kata singkat seorang petugas kecamatan. Wagirah, perempuan tua penduduk Kampung Ngadiwinatan, Yogyakarta, tak sempat bertanya banyak -- karena tamunya segera pamit. Ia hanya bisa menduga, dengan hati waswas, permintaan petugas itu ada hubungan dengan anaknya, Slamet Gaplek, tokoh gali yang sudah sebulan lebih menghilang.
Apalagi, sehari sebelum tamu itu datang 1 Mei 1983, beberapa petugas berpakaian preman menggeledah semua rumah di kampung itu. Para-para sampai kolong tempat tidur digeledah dengan cermat. "Kami akan membersihkan hama kalian," kata petugas operasi pemberantasan gali dari Garnisun Yogyakarta, yang tampak penasaran tak berhasil menemukan Slamet Gaplek di sana.
Slamet, akhirnya pulang ke rumah ibunya, tertutup rapat dalam peti. Menurut sumber di Garnisun Yogya Slamet Gaplek ditemukan di daerah Pakis Gunung, Surabaya, awal Mei lalu. Sejak gali-gali dibabat, Slamet tampaknya bersembunyi di sana. Ketika hendak ditangkap kata sumber itu lagi, Slamet, 30 tahun, yang bertubuh kekar menurut saja. Tapi begitu hendak dinaikkan ke atas mobil ia berontak, "sampai borgol di tangannya patah." Maka, tak ada jalan lain kecuali melumpuhkannya dengan "si bongkok". Seseorang yang mengetahui menyatakan bahwa di baju Slamet, yang dikenakan saat ia ditembak, konon ada sekitar 20 lubang bekas peluru.
Slamet Gaplek dikenal sebagai tokoh gali sekaliber Suwahyono, yang mati tertembak lebih dahulu (TEMPO, 16 April 1983). Gemar naik jip bergambar pedang bersilang, Slamet mempunyai daerah kekuasaan di pertokoan seputar Ngampilan dan Wirobrajan. Cahyadi, pemilik toko besi Yogya Indah, mengaku setiap bulannya dikenai "pajak" Rp 10.000 oleh kawanan Slamet.
"Setelah Wahyo tertembak, ia datang sendiri minta pungutan untuk tiga bulan," kata Cahyadi lagi. Setelah kawan dekatnya itu tertembak mati -- ketika itu Slamet sempat ikut melayat -- ia rupanya merasa terancam juga. Ia lalu mendatangi beberapa toko yang berada "di bawah perlindungannya", mencari bekal, lalu menghilang dari Yogya. Dan sejak itu petugas sibuk mencarinya.
Rumah orang tuanya di Ngadiwinatan, rumah kedua istrinya, dan bahkan tempat Slamet diketahui sering memancing -- di Pandaan, Gunung Kidul -- tak hentinya dilongok petugas. "Ia sungguh membuat kami lelah," kata seorang petugas yang ikut memburu Slamet. Tak tahunyua ia bersembunyi di Pakis Gunung. Yayuk, 23 tahun, istri muda Slamet, mengaku terakhir kali menemui suaminya di sana, dua minggu sebelum ia mati tertembak. Saat itu, katanya, "Mas Slamet sebenarnya ingin menyerah, tapi tidak tahu caranya." Ayah dari tiga anak itu, diakui Yayuk, selalu memberi uang belanja yang lumayan.
Slamet ternyata tak hanya menyayangi kedua istrinya. Ia juga menyayangi ibunya. Rumah Nyonya Wagirah di Ngadiwinatan, yang dibangun Slamet tergolong top. Berdinding beton, rumah seluas sekitar 100 m2 itu beratap genteng kualitas tinggi, yang dicat dengan warna hijau dan kuning. Di kamar tamunya, yang terasa lapang dan nyaman oleh kaca riben, terdapat sebuah lemari es dan teve berwarna. Di halaman rumah, ada taman yang asri, lengkap dengan lampu warna ungu.
Rumah kedua istrinya di kampung lain, kondisinya juga kira-kira sama. Tak heran karena dari "bisnis"-nya, menurut perhitungan sebuah sumber di Garnisun, "Slamet paling tidak bisa mengantungi Rp 2,5 juta sebulan." Penghasilannya yang menyamai golongan kelas menengah itu, barangkali betul. Tapi, kata Yayuk, setahunya itu bukan hasil memeras. "Mas Slamet punya bengkel sepeda motor," katanya.
Namun Nyonya Wagirah, ibunya, mengakui bahwa sejak kecil Slamet memang sudah senang berkelahi dan mencuri. Sering membolos ketika di SD, Slamet kecil senang mencuri gaplek yang baru diturunkan dari truk dekat sekolahnya. Sejak itu ia dikenal dengan sebutan Slamet Gaplek. "Nama sebenarnya Slamet Trihartono," kata Nyonya Wagirah.
Berbeda dengan Slamet yang hanya tamatan SD, tokoh gali lain yang juga mati dalam waktu hampir bersamaan, Ismoyo, adalah seorang sarjana. Ia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Menurut keluarganya, Ismoyo, 35 tahun, meninggal akibat tembakan. Tapi, petugas di Garnisun menyatakan, "ia mati karena dikeroyok massa."
Punya kegemaran menyabung ayam dan berjudi, Ismoyo pernah menjadi karyawan Pemda Yogya, di biro organisasi dan tata laksana. Ia dipecat karena sering membolos. Rupanya ketika itu ia sudah mempunyai "usaha sambilan" yang lebih menguntungkan. Menurut keluarganya, usaha Ismoyo bukan memeras, melainkan berusaha sebagai seorang wiraswasta. Gali atau wiraswasta, apa mau dikata, kini ia telah tiada. Tak jelas ia korban ke berapa. Tapi operasi pemberantasan gali di Yogya yang dilancarkan sejak akhir Maret, dikabarkan sudah "melumpuhkan" puluhan orang -- mereka yang tak mau menyerah.
Apalagi, sehari sebelum tamu itu datang 1 Mei 1983, beberapa petugas berpakaian preman menggeledah semua rumah di kampung itu. Para-para sampai kolong tempat tidur digeledah dengan cermat. "Kami akan membersihkan hama kalian," kata petugas operasi pemberantasan gali dari Garnisun Yogyakarta, yang tampak penasaran tak berhasil menemukan Slamet Gaplek di sana.
Slamet, akhirnya pulang ke rumah ibunya, tertutup rapat dalam peti. Menurut sumber di Garnisun Yogya Slamet Gaplek ditemukan di daerah Pakis Gunung, Surabaya, awal Mei lalu. Sejak gali-gali dibabat, Slamet tampaknya bersembunyi di sana. Ketika hendak ditangkap kata sumber itu lagi, Slamet, 30 tahun, yang bertubuh kekar menurut saja. Tapi begitu hendak dinaikkan ke atas mobil ia berontak, "sampai borgol di tangannya patah." Maka, tak ada jalan lain kecuali melumpuhkannya dengan "si bongkok". Seseorang yang mengetahui menyatakan bahwa di baju Slamet, yang dikenakan saat ia ditembak, konon ada sekitar 20 lubang bekas peluru.
Slamet Gaplek dikenal sebagai tokoh gali sekaliber Suwahyono, yang mati tertembak lebih dahulu (TEMPO, 16 April 1983). Gemar naik jip bergambar pedang bersilang, Slamet mempunyai daerah kekuasaan di pertokoan seputar Ngampilan dan Wirobrajan. Cahyadi, pemilik toko besi Yogya Indah, mengaku setiap bulannya dikenai "pajak" Rp 10.000 oleh kawanan Slamet.
"Setelah Wahyo tertembak, ia datang sendiri minta pungutan untuk tiga bulan," kata Cahyadi lagi. Setelah kawan dekatnya itu tertembak mati -- ketika itu Slamet sempat ikut melayat -- ia rupanya merasa terancam juga. Ia lalu mendatangi beberapa toko yang berada "di bawah perlindungannya", mencari bekal, lalu menghilang dari Yogya. Dan sejak itu petugas sibuk mencarinya.
Rumah orang tuanya di Ngadiwinatan, rumah kedua istrinya, dan bahkan tempat Slamet diketahui sering memancing -- di Pandaan, Gunung Kidul -- tak hentinya dilongok petugas. "Ia sungguh membuat kami lelah," kata seorang petugas yang ikut memburu Slamet. Tak tahunyua ia bersembunyi di Pakis Gunung. Yayuk, 23 tahun, istri muda Slamet, mengaku terakhir kali menemui suaminya di sana, dua minggu sebelum ia mati tertembak. Saat itu, katanya, "Mas Slamet sebenarnya ingin menyerah, tapi tidak tahu caranya." Ayah dari tiga anak itu, diakui Yayuk, selalu memberi uang belanja yang lumayan.
Slamet ternyata tak hanya menyayangi kedua istrinya. Ia juga menyayangi ibunya. Rumah Nyonya Wagirah di Ngadiwinatan, yang dibangun Slamet tergolong top. Berdinding beton, rumah seluas sekitar 100 m2 itu beratap genteng kualitas tinggi, yang dicat dengan warna hijau dan kuning. Di kamar tamunya, yang terasa lapang dan nyaman oleh kaca riben, terdapat sebuah lemari es dan teve berwarna. Di halaman rumah, ada taman yang asri, lengkap dengan lampu warna ungu.
Rumah kedua istrinya di kampung lain, kondisinya juga kira-kira sama. Tak heran karena dari "bisnis"-nya, menurut perhitungan sebuah sumber di Garnisun, "Slamet paling tidak bisa mengantungi Rp 2,5 juta sebulan." Penghasilannya yang menyamai golongan kelas menengah itu, barangkali betul. Tapi, kata Yayuk, setahunya itu bukan hasil memeras. "Mas Slamet punya bengkel sepeda motor," katanya.
Namun Nyonya Wagirah, ibunya, mengakui bahwa sejak kecil Slamet memang sudah senang berkelahi dan mencuri. Sering membolos ketika di SD, Slamet kecil senang mencuri gaplek yang baru diturunkan dari truk dekat sekolahnya. Sejak itu ia dikenal dengan sebutan Slamet Gaplek. "Nama sebenarnya Slamet Trihartono," kata Nyonya Wagirah.
Berbeda dengan Slamet yang hanya tamatan SD, tokoh gali lain yang juga mati dalam waktu hampir bersamaan, Ismoyo, adalah seorang sarjana. Ia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Menurut keluarganya, Ismoyo, 35 tahun, meninggal akibat tembakan. Tapi, petugas di Garnisun menyatakan, "ia mati karena dikeroyok massa."
Punya kegemaran menyabung ayam dan berjudi, Ismoyo pernah menjadi karyawan Pemda Yogya, di biro organisasi dan tata laksana. Ia dipecat karena sering membolos. Rupanya ketika itu ia sudah mempunyai "usaha sambilan" yang lebih menguntungkan. Menurut keluarganya, usaha Ismoyo bukan memeras, melainkan berusaha sebagai seorang wiraswasta. Gali atau wiraswasta, apa mau dikata, kini ia telah tiada. Tak jelas ia korban ke berapa. Tapi operasi pemberantasan gali di Yogya yang dilancarkan sejak akhir Maret, dikabarkan sudah "melumpuhkan" puluhan orang -- mereka yang tak mau menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar