Di era 1980-an ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap hingga kini, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat sudah dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan, jurang atau kebun. Peristiwa penculikan dan penembakan tersebut berlaku bagi mereka yang sewaktu masih hidup diduga sebagai gali, preman, residivis, penjahat, bromocorah, dan kaum kecu dan mereka sering dipinggirkan dalam kehidupan.
Pada era Soeharto, petrus hanya berlaku untuk preman & penjahat kelas teri, mereka yang merampok karena kondisi kepepet dan lapar. Namun TIDAK untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena rakus dan punya kesempatan. Bahkan ada yang berpendapat kalau preman-preman berdasi itu justru punya kedekatan dengan Pak Harto sehingga mereka tidak di-dor.
Mari kita tengok kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini, di mana sangat sering terjadi tindakan brutal dan anarkis yang mungkin hanya gara-gara masalah sepele atau salah faham saja. Lihat saja kasus Blow Fish yang berlanjut ke persidangan; kasus Mbah Priuk, tawuran antar supporter atau antar warga (dimana polisi pun kurang sukses mengatasi amuk massa yang anarkis tersebut) dan yang tak kalah mengerikan adalah maraknya aksi perampokan yang semakin nekat dan sadis; atau aksi preman jalanan seperti “kapak merah” dan sejenisnya. Apalagi aksi teroris yang sangat kejam yang bisa mengakibatkan korban massal dan kerusakan yang luas.
Dalam format yang lebih “halus” kita mengenal kasus Century, Gayus Tambunan, Susno Duadji dan masih banyak lagi kasus “halus” yang berbuntut sangat panjang dan terkesan sulit untuk diurai. Bagi kita masyarakat awam, seolah-olah mudah saja menyelesaikan semuanya itu : Lha wong sudah jelas semuanya kok, mau ngapain lagi? Kan tinggal dihukum, kan beres! Namun apakah demikian jika ditinjau secara hukum? Menurut mereka yang pintar dan sangat menguasai hukum, semuanya itu haruslah bisa dibuktikan secara yuridis formal, seperti yang sering diucapkan oleh Kapolri, Bambang Hendarso Danuri.
Di sisi lain, sebagian dari mereka yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung masyarakat atau para petugas pelayanan masyarakat yang notabene merupakan tempat di mana kita mencari perlindungan, keadilan dan pelayanan yang baik dari mereka, justru memperlihatkan kecenderungan perilaku yang mirip dengan kaum yang terpinggirkan. Jaksa, hakim, polisi dan aparat penegak hukum atau aparat pemerintah lainnya justru bisa diajak “bermain” jika ada duitnya. Itu sudah bukan rahasia lagi, bahkan sampai sekarang-pun setelah ada KPK.
Bagaimana ya kira-kira jika “petrus” di-aktif-kan lagi untuk membersihkan negeri ini dari keberadaan mereka? Jika ditinjau dari sisi kemanusiaan dan HAM, jelas hal tersebut sangat salah. Namun jika ditilik dari segi keamanan dan kenyamanan publik, kok kayaknya negeri ini perlu “petrus”. Bagaimana jika suatu pagi kita menyaksikan berita bahwa mereka para tokoh teroris, koruptor, aparat & pejabat nakal, sampai preman dan penjahat jalanan ditemukan telah tidak bernyawa lagi? Bagaimana jika mereka telah berada di dalam karung atau tubuh mereka di-geletakkan begitu saja di suatu tempat?
Mungkin tidak semuanya diperlakukan demikian.
Tapi paling tidak ada beberapa yang di-dor, sebagai shock terapi seperti pada era Soeharto. Mungkin saja setelah beberapa “teman seprofesi” nya ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa lagi, bisa menimbulkan efek jera dan mereka menjadi ketakutan dan angka kejahatan menjadi turun. Itu hanya logika orang awam yang sangat sederhana dan apa adanya, tanpa memperhitungkan efek positif & negatif atau resiko ke depan yang tentu akan menimbulkan pendapat pro-kontra. Bagaimana menurut Anda?
Pada era Soeharto, petrus hanya berlaku untuk preman & penjahat kelas teri, mereka yang merampok karena kondisi kepepet dan lapar. Namun TIDAK untuk preman berdasi, mereka yang mencuri karena rakus dan punya kesempatan. Bahkan ada yang berpendapat kalau preman-preman berdasi itu justru punya kedekatan dengan Pak Harto sehingga mereka tidak di-dor.
Mari kita tengok kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini, di mana sangat sering terjadi tindakan brutal dan anarkis yang mungkin hanya gara-gara masalah sepele atau salah faham saja. Lihat saja kasus Blow Fish yang berlanjut ke persidangan; kasus Mbah Priuk, tawuran antar supporter atau antar warga (dimana polisi pun kurang sukses mengatasi amuk massa yang anarkis tersebut) dan yang tak kalah mengerikan adalah maraknya aksi perampokan yang semakin nekat dan sadis; atau aksi preman jalanan seperti “kapak merah” dan sejenisnya. Apalagi aksi teroris yang sangat kejam yang bisa mengakibatkan korban massal dan kerusakan yang luas.
Dalam format yang lebih “halus” kita mengenal kasus Century, Gayus Tambunan, Susno Duadji dan masih banyak lagi kasus “halus” yang berbuntut sangat panjang dan terkesan sulit untuk diurai. Bagi kita masyarakat awam, seolah-olah mudah saja menyelesaikan semuanya itu : Lha wong sudah jelas semuanya kok, mau ngapain lagi? Kan tinggal dihukum, kan beres! Namun apakah demikian jika ditinjau secara hukum? Menurut mereka yang pintar dan sangat menguasai hukum, semuanya itu haruslah bisa dibuktikan secara yuridis formal, seperti yang sering diucapkan oleh Kapolri, Bambang Hendarso Danuri.
Di sisi lain, sebagian dari mereka yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung masyarakat atau para petugas pelayanan masyarakat yang notabene merupakan tempat di mana kita mencari perlindungan, keadilan dan pelayanan yang baik dari mereka, justru memperlihatkan kecenderungan perilaku yang mirip dengan kaum yang terpinggirkan. Jaksa, hakim, polisi dan aparat penegak hukum atau aparat pemerintah lainnya justru bisa diajak “bermain” jika ada duitnya. Itu sudah bukan rahasia lagi, bahkan sampai sekarang-pun setelah ada KPK.
Bagaimana ya kira-kira jika “petrus” di-aktif-kan lagi untuk membersihkan negeri ini dari keberadaan mereka? Jika ditinjau dari sisi kemanusiaan dan HAM, jelas hal tersebut sangat salah. Namun jika ditilik dari segi keamanan dan kenyamanan publik, kok kayaknya negeri ini perlu “petrus”. Bagaimana jika suatu pagi kita menyaksikan berita bahwa mereka para tokoh teroris, koruptor, aparat & pejabat nakal, sampai preman dan penjahat jalanan ditemukan telah tidak bernyawa lagi? Bagaimana jika mereka telah berada di dalam karung atau tubuh mereka di-geletakkan begitu saja di suatu tempat?
Mungkin tidak semuanya diperlakukan demikian.
Tapi paling tidak ada beberapa yang di-dor, sebagai shock terapi seperti pada era Soeharto. Mungkin saja setelah beberapa “teman seprofesi” nya ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa lagi, bisa menimbulkan efek jera dan mereka menjadi ketakutan dan angka kejahatan menjadi turun. Itu hanya logika orang awam yang sangat sederhana dan apa adanya, tanpa memperhitungkan efek positif & negatif atau resiko ke depan yang tentu akan menimbulkan pendapat pro-kontra. Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar