Rabu, 28 Oktober 2009

Kehidupan Wanita Irian

Aku selalu terheran-heran dan terkagum-kagum setiap kali melihat dan mendengar wanita Asmat atau Ekari tertawa. Bagaimana mereka masih bisa tertawa? Sejak lahir mereka sudah mengalami perlakuan diskriminasi sex. Pembunuhan bayi perempuan (female infanticide) diduga hal yang biasa dipraktekkan di kalangan suku-suku pedalaman Irian sampai 20-30 tahun yang lalu. Sulit membuktikan praktek ini karena mereka tahu perbuatan ini sebenarnya melanggar hukum. Yang sekarang masih mereka lakukan ialah menelantarkan bayi perempuan. Di bawah ini pengalaman pribadiku berkenaan dengan infanticide tidak langsung.

ANAK CANGKOKAN

Orang sering menonton kelaparan massal di TV. Hampir semuanya terjadi di Afrika. Banyak yang mengira di Indonesia tidak ada "tengkorak hidup" seperti yang mereka lihat di layar kaca itu. Hal itu mungkin benar kalau Irian tidak termasuk wilayah Indonesia.

Aku pun mempunyai anggapan yang serupa sampai melihat seorang anak dibawa ibunya ke RS Bayun. Usianya pasti lebih dari 3 tahun, tetapi beratnya hanya 5,5 kg. Menurut standard international dan national, berat badan (BB) di bawah 60% dari BB normal menurut usia adalah Protein Energy Malnutrition (PEM) atau Kekurangan Kalori dan Protein berat. Anak ini BB-nya sekitar 40% dari normal. Aku hampir tidak percaya dia masih hidup.

Karena rumah orang tuanya tidak terlalu jauh dari RS, aku minta ibunya setiap hari membawa si anak ke RS untuk program nutrisi. Setelah 2 hari datang, dia tidak muncul lagi. Dia datang setelah di panggil. Aku tanya mengapa dia tidak datang sehari sebelumnya. "Saya tidak sempat," jawabnya.

"Di mana suamimu?" tanyaku lagi.
"Dia membantu kepala desa."
"Apakah dia pernah mendapat uang dari kepala desa?"
"Tidak ada." Jawaban khas orang Irian untuk "tidak".

Kemudian aku menyuruh seseorang memanggil si suami. "Mengapa kamu tidak menggantikan istrimu membawa anakmu ke RS?" tanyaku.
"Saya sibuk," jawab si suami.
"Ya, tapi anakmu itu hampir mati kelaparan."

"Dia bukan anak saya. Dia anak perempuan itu." Untuk sejenak mulutku terkunci. Mukaku panas.

"Anak ini adalah hasil dari perempuan ini dengan ini!"

aku tidak menyelesaikan kalimat dengan kata-kata, melainkan dengan tanganku. Kemaluan laki-laki itu kupukul. Kudengar suster Pris berteriak. Baru kusadar bahwa si suami memegang golok. Tetapi dia terlalu kaget untuk menggunakannya. Dia segera mengambil langkah seribu.

Menurut beberapa anthropologists praktek female infanticide sebenarnya adalah sebuah metode regulasi kepadatan penduduk. Suku-suku pemburu / peramu / peladang-berpindah tinggal dalam komunitas kecil-kecil. Setiap periode waktu tertentu mereka harus berpindah tempat karena sumber makanan di sekitarnya sudah tidak memadai lagi, mungkin karena terlalu banyak diambil,perubahan iklim, atau tanah tidak subur lagi. Dengan kata lain "carrying capacity" dari tempat itu hampir atau sudah terlampaui. Mempunyai barang dan anak-anak kecil sedikit memudahkan mereka berpindah-pindah. Juga jumlah populasi yang rendah membuat mereka bisa lebih lama tinggal di satu tempat karena makanan yang tersedia di lingkungan lebih lama habis. Karena fertilitas atau kesuburan wanita yang menentukan pertumbuhan penduduk, bayi wanita yang dibunuh. Tetapi alasan diskriminasi sex pasti mendorong praktek ini juga. Mereka perlu banyak laki-laki untuk perang dan berburu.

Seandainya bayi kembar yang aku adopsi itu bukan perempuan, mungkin aku tidak perlu mengadopsinya. Mereka sedang mengharapkan bayi laki-laki. Tetapi sebenarnya bayi perempuan bisa menjadi investasi yang menguntungkan dikalangan beberapa suku, antara lain suku Ekari. Tidak ada istilah "melamar", yang ada "membeli" perempuan. Jika ingin mengawini wanita Ekari, kita harus bersiap-siap dengan kejutan dari ayah sang wanita. Dia akan menghitung berapa botol susu, noktah (ubi jalar), ikan, dan lain-lain makanan yang disantap oleh anaknya sejak lahir. "Uang susu" namanya. Kemudian dia mulai menghitung jumlah uang yang dihabiskan untuk pendidikan sang anak. Jangan kaget bila mendengar dia menuntut 10-20 juta karena dia menghitung bunganya juga. Tetapi ini bukan harga mati. Tawar-menawar "harga" perempuan bisa berlarut-larut dan alot. Sang wanita tidak mempunyai hak bersuara sama sekali. Bila gagal mencapai persetujuan, sering sang "pembeli" melarikan sang wanita. Akibatnya kadang-kadang berbuntut perang suku pada masa lalu. Tetapi sekarang ini urusannya akan melibatkan polisi dan camat. Tetap saja "ramai" sekali.

Pernah aku menanyakan pada beberapa laki-laki Dani tentang kriteria wanita cantik. Menurut mereka wanita cantik adalah wanita yang kuat ... bekerja di kebun! Jadi wanita adalah modal ekonomis. Tidak heran ada seorang kepala suku di Ilaga mempunyai istri lebih dari 30 orang. Makin banyak istri, makin kaya dia. Siapa bilang orang Irian primitif? Mereka memahami sistem kapitalis dengan baik. Banyak istri banyak uang masuk.Ada 2 cara pertumbuhan modal ini. Yang pertama mudah dinalar. Istri-istri ini merupakan tenaga kerja gratis. Sebenarnya banyak perempuan suka dimadu karena mereka dapat membagi-bagi beban pekerjaan.Cara yang kedua sangat "canggih". Si kepala suku ini hanya tinggal bersama 2-3 istrinya dalam satu kampung. Istri-istri yang lain disebar. Hampir pasti terjadi skandal sex antara istri-istri ini dengan beberapa laki-laki lain. Bila tertangkap basah, penyelesaian dengan hukum adat. Si laki-laki ini harus memberi ganti rugi kepada sang suami. Jumlah ganti rugi ditentukan dalam suatu forum di balai desa yang melibatkan kepala desa, kepala suku, dan tua-tua adat. Dalam hal ini, masalah hukum diselesaikan oleh orang-orang pedalaman dengan cara yang lebih demokratis daripada orang-orang di kota.

Suatu kali aku mengikuti perundingan ini di Ilaga. Yang membuat aku geli ialah jabatan laki-laki yang berbuat serong: penginjil lokal. Waduuh mak, bikin malu saja. Well penginjil juga manusia. Mungkin kalau dokter berbuat serong lebih bisa dimaafkan, I hope. Godaannya kan lebih hebat
dan lebih sering. OK kembali kepada perundingan. Setelah 5-6 jam tarik urat suara, tercapai persetujuan: 10 babi harus dibayar oleh sang laki-laki.

Tidak lama kemudian di kampung laki-laki itu ramai orang berburu babi peliharaan 1/2 liar. Lucu dan menarik sekali sehingga aku ikut-ikutan mengejar babi-babi itu di lereng-lereng bukit. Upacara serah terima berubah menjadi arena saling teriak dan mengancam dengan panah. Mereka dipisahkan oleh jarak sekitar 75 meter. Ramai deh. Pidatonya panjang-panjang. Jauh lebih menarik daripada pidato "atas petunjuk bapak Presiden" dari HARi-hari oMOng KOsong di TV. Pasalnya sang suami tidak mau menerima 10 babi itu karena hanya 3 diantaranya babi dewasa. Lainnya baby babi. Perundingang diulang lagi sampai sore hari.

Kembali kepada kehidupan wanita pedalaman. Lima tahun pertama kehidupan wanita Irian mungkin paling membahagiakan. Mereka diberi kesempatan bermain, walaupun tidak sebanyak anak laki-laki, dan masih dibebaskan dari pekerjaan. Perlakuan sexist datang hanya dari bapaknya. Itupun secara tidak langsung, misalnya sang bapak jarang sekali menggendong atau mengajak bermain anak perempuan.

Setelah berusia lima tahun, sedikit demi sedikit anak perempuan diberi tugas membantu ibunya. Waktu bermain berkurang. Bila ada sekolah di desanya, mereka disekolahkan selama 1-2 tahun. Masa ini umumnya tidak terlalu buruk jika ibu mereka masih hidup. Sayang sekali wanita pedalaman umumnya berusia tidak terlalu panjang. Kalau mereka meninggal, anak perempuan akan mengambil alih pekerjaan rumah tanggga bapaknya jika sang bapak tidak mengambil istri lagi.

Kehidupan sehari-hari wanita pedalaman dimulai ketika matahari belum terbit. Mengambil air minum dari sungai atau sumber air lain dan membakar sagu atau ubi jalar adalah tugas mereka. Harus selesai sebelum si suami bangun kalau tidak ingin mendapat omelan atau pukulan. Setelah selesai memberi makan anak-anak, mereka pergi ke laut, danau, atau ke sungai.

Wanita Ekari yang hidup di sekitar danau Paniai, Tigi, dan Tage, menangkap ikan dengan jala dari dalam perahu. Perahu itu berat sekali karena bentuknya tidak "streamline". Salah satu ujungnya dipotong rata. Setengah mati mendayungnya. Menangkap ikan bagi kebanyakan wanita Ekari sebenarnya kegiatan menyenangkan. Ramai sekali mereka bergosip ria. Beberapa iantaranya bernyanyi. Nampaknya hasil tangkapan tidak terlalu penting. Ikan-ikannya kecil-kecil.

Suasana yang mewarnai kegiatan menangkap ikan diatas juga terlihat di antara wanita Asmat. Sambil mengangkat jaring yang dipasang melintang semalam sebelumnya di sungai, mereka asyiik menggosipkan kaum laki-laki, hobby wanita yang universal. Saking asyiiknya, mereka sering lengah akan buaya. Setiap tahun hampir selalu ada orang yang dimakan buaya di Asmat, dan hampir selalu wanita. Buaya pun sexist di Asmat.

Tetapi menangkap ikan di laut berbeda. Dua orang wanita memegang sebuah jaring yang direntang diantara mereka. Lebarnya sekitar 1.5 meter dan terbuat dari anyaman daun-daunan. Kemudian mereka berjalan mondar-mandir sepanjang pantai dengan badan terendam air setinggi dada. Kegiatan ini tidak berhenti walaupun hujan. Jangan lupa, kaki merekaa tertanam dalam lumpur di dasar pantai. Hasilnya biasanya hanya berupa udang-udang halus dan ikan-ikan kecil.

Sore hari kaum wanita pergi ke hutan yang "dekat" kampung untuk mencari kayu bakar. Sering mereka harus memakai perahu karena tidak banyak lagi kayu bakar tersedia di sekitar kampung. Kadang-kadang suami menyertai mereka, tetapi tugas mereka hanya mendayung dan memotong pohon bakau. Jika kembali, wanitalah yang memanggul ikatan kayu bakar. Satu ikat beratnya bisa 25-30 kg. Sang suami biasa berjalan di muka dengam kapak di tangannya. Setiap kali aku melihat pemandangan ini, aku pasti "gatal mulut" mengomeli si suami. Apalagi kalau melihat seorang laki-laki duduk di tengah perahu sementara kedua istrinya mendayung perahu.

Dengan kehidupan begitu berat, perempuan Irian setelah menikah cepat sekali "layu". Wajahnya kebanyakan lebih tua 10-15 tahun dari usianya. Jarang sekali ada perempuan Asmat berusia lebih dari 40 tahun.
From: John MacDougall <apakabar@access.digex.net> Jan 10 1996 - 14:16:00 EST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar