Demonstrasi 28 Januari 2010 silam terbilang cukup ‘istimewa’. Kehadiran kerbau SiBuYa dalam demonstrasi 100 hari kerja pemerintah SBY menjadi polemik. Demonstran yang membawa kerbau dengan tujuan menyindir SBY yang selama ini terkenal lamban menuai aksi curhat dari pak Presiden. Curhat kesekian kali SBY ini disampaikan pada sambutan pertemuan menteri dan gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
“Di sana ada yang teriak-teriak SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling. Ada juga demo yang bawa kerbau. Ada gambar SBY. Dibilang, SBY malas, badannya besar kayak kerbau. Apakah itu unjuk rasa? Itu nanti kita bahas,” – Presiden SBY –
Ada beberapa hal yang saya setuju dengan apa yang disampaikan presiden SBY sebagai tanggapan aksi demonstrasi 28 Januari 2010.Unjuk rasa merupakan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Unjuk rasa semestinya menjadi wahana partisipasi dan kreativitas setiap warga negara dalam membangun kehidupan negara yang berdemokrasi. Sebagai wahana terakhir masyrakat untuk memberi masukan kepada pemerintah, selain melalui ajang rapat umum, diskusi atau pawai.
Kebebasan dalam unjuk rasa ini hendaknya bertanggungjawab, menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, dilaksanakan secara damai dengan tetap menjaga keutuhan bangsa. Dan dalam hal ini, pemerintah atau objek yang menjadi sasaran demonstrasi hendaknya merespons setiap unjuk rasa dengan bijak dan merakyat. Tanpa kritik, maka akan memberi ruang bagi pemerintah menjadi otoriterian.
Disini, demonstran yang meneriakin seorang pejabat negara dengan kata maling tanpa ada bukti yang jelas, tentu merupakan unjuk rasa yang tidak bertanggungjawab. Demonstran tersebut telah melangkah terlalu jauh menvonis seseorang. Ini adalah perilaku main hakim sendiri. Lebih jauh, tuduhan maling tanpa bukti merupakan fitnah. Dan tentunya, demonstrasi seperti ini jauh dari etika kepantasan dan kesantunan, terlebih dalam kultur timur, dengan ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup negara.
Aksi demonstrasi yang tidak bertanggungjawab ini sesungguhnya dapat menurunkan nilai positif dari kemerdekaan atau kebebasan berpendapat. Perilaku demonstrasi menjadi pelik tatkala pemerintah hampir tidak pernah mendengar aspirasi para demonstran yang berdemo dengan santun. Hal-hal substansial dalam demo yang santun kurang ditangkapi. Dan parahnya media massa seperti TV justru menayangkan aksi dorong-mendorong antara polisi dan demonstran, bukan isi orasi dari demonstran.
Lebih jauh daripada itu, pesan-pesan demonstran seperti reformasi birokrasi, penangangan pasar bebas ASEAN-China, pembentukan UU pembuktian terbalik, pembangunan infrastruktur tepat berjalan mandeg bahkan tidak masuk dalam prioritas program. Sebagian demonstran pada hakikatnya ingin mempertanyakan janji-janji yang disampaikan capres SBY-Boediono kepada rakyat Indonesia. Janji bahwa pro-rakyat, mengatur anggaran negara untuk kepentingan rakyat dan efisiensi hanyalah janji-janji angin surga.
Bukannya menghemat anggaran untuk dialihkan kepada program lebih urgen, pemerintah justru mengadakan mobil dinas mewah, renovasi rumah anggota DPR RI Rp 700 juta (total Rp 392 miliar), pengadaan laptop super mewah anggota dewan Rp 16 juta per unit (total Rp 9 miliar), hingga pembuatan pagar istana super mahal seharga Rp22 miliar dan rencana pembelian pesawat Boeing VIP seharga Rp 700 miliar. Belum lagi keinginannya untuk menaikkan gaji para pejabat negara.
Dari sinilah, mestinya presiden SBY menanggapi hal substansi asprirasi demonstran, baru menanggapi demonstran yang tidak sopan dalam satu paket. Bila presiden hanya begitu serius menanggapi kebo “SiBuYa” yang secara eksplisit menyinggung bapak presiden, maka publik akan bertanya mengapa pak Presiden tidak menegur/sanksi kepada sikap/perbuatan Ruhut Sitompul?
Akhir kata, saya tidak ingin jika kepala negara kita, para pejabat kita yang tidak terbukti secara hukum melakukan tindakan pidana, dihina-hina atau divonis sebagai seorang kriminal. Penghinaan atau penyebutan maling kepada pejabat negara tanpa bukti merupakan ucapan yang sama sekali tidak layak, tidak pantas dan jauh dari etika. Begitu juga demonstrasi tanpa tujuan, yang hanya melakukan aksi karena dibayar merupakan aksi yang menjijikan. Kita berharap, para demonstran benar-benar memperjuangankan aspirasinya secara murni demi sebuah kebenaran. Sementara, kita berharap pemerintah mau mendengar aspirasi rakyat melalui sarana demonstrasi, sebuah alat bagi rakyat untuk berbicara kepada ’sang raja’ demi perbaikan dan kemajuan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar