Jumat, 21 Agustus 2009

Usus Dipotong akibat Kebanyakan Mi Instan

MAKSUD hati membantu suami menambah penghasilan, apa daya anak jadi korban. Akibat kerap meninggalkan buah hatinya, Hilal Aljajira (6), Erna Sutika (32) kini harus menelan pil pahit. Usus Hilal bocor dan membusuk hingga harus dipotong. Rupanya tiap hari Hilal hanya menyantap mi instan karena di rumah tak ada orang yang memasakkan makanan untuknya. Berikut cerita Erna.

Saat usia Hilal menginjak 2 tahun, aku memutuskan bekerja, membantu keuangan keluarga mengingat penghasilan suamiku, Saripudin (39), kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Aku bekerja di perusahaan pembuat bulu mata palsu, tak jauh dari rumah kami di Garut. Setiap berangkat kerja, Hilal kutitipkan kepada ibuku. Di situ, ibuku kerap memberinya mi instan. Bukan salah ibuku, sih, karena sebelumnya, aku juga suka memberinya makanan itu jika sedang tidak masak.

Ternyata, Hilal jadi “tergila-gila” makanan itu. Ia akan mengamuk dan mogok makan jika tak diberi mi instan. Ya, daripada cucunya kelaparan, ibuku akhirnya hanya mengalah dan menuruti kemauan Hilal. Lagi pula, kalau tidak diberi, Hilal pasti akan membeli sendiri mi instan di warung dekat rumah dengan uang jajan yang kuberikan. Praktis, sehari dua kali ia makan mi instan.

Dua kali dipotong
Kamis, 20 November 2008, Hilal mengeluh sakit perut. Kupikir sakit biasa. Anehnya, setelah tiga hari, sakitnya tak kunjung hilang dan ditambah ia tidak bisa buang air besar. Gara-gara itulah perutnya membesar. Khawatir, kubawa Hilal ke mantri dekat rumah. Karena tetap tidak ada perubahan, kami kemudian membawanya ke RSU Dr Slamet, Garut. Ternyata hasil pemeriksaan dokter lebih menyeramkan dari yang kuduga. Kupikir, cukup dengan obat pencahar perut, sakit Hilal bisa segera sembuh. Rupanya tak segampang itu.

Hasil tes darah dan rontgen memperlihatkan, Hilal harus segera dioperasi karena beberapa bagian di ususnya bocor dan membusuk. Ketika kutanyakan apa penyebabnya, dokter menjawab, akibat dari kandungan makanan yang Hilal konsumsi selama ini tidak sehat dan membuat ususnya rusak. Saat itulah kutahu Hilal terlalu sering menyantap mi instan. Astagfirullah….

Atas rujukan dokter, kami kemudian membawa Hilal ke RS Hasan Sadikin, Bandung, dengan alasan peralatan medis di RS itu lebih lengkap. Sejak awal, tim dokter sudah pesimistis dengan kondisi Hilal yang begitu memprihatinkan dengan berat badan yang tidak sampai 11 kg. Dokter juga bilang, dari puluhan kasus serupa, hanya tiga orang yang bertahan hidup. Aku hanya bisa berserah pada Allah SWT.

Baru pada 25 November 2008 operasi dilakukan di RS Immanuel, Bandung. Saat itu aku sedang hamil tiga bulan. Dokter mengamputasi usus Hilal sekitar 10 cm. Untuk menyatukan bagian usus yang terputus itu, dokter menyambungnya dengan usus sintetis. Selain itu, dokter juga membuat lubang anus sementara (kolostomi) di dinding perut sebelah kanan.

Utang belum lunas
Ternyata cobaan kami belum berakhir sampai di situ. Tiga hari kemudian, dokter menemukan masih ada bagian usus yang bocor. Mau tidak mau, Hilal harus kembali naik ke meja operasi dan merelakan sebagian ususnya lagi. Jelas, aku dan suami sangat ingin Hilal sembuh. Namun, di sisi lain, penghasilanku sebagai buruh tidaklah seberapa. Setiap bulan, aku hanya bisa membawa pulang uang Rp 250.000 atau Rp 300.000 kalau lembur. Adapun suamiku penghasilannya tidak pernah menentu. Maklum, ia hanya kuli kasar di pabrik tahu di Bandung.

Sejak Hilal jatuh sakit, aku memutuskan berhenti bekerja. Alhasil, suamiku harus banting tulang mengerjakan pekerjaan apa pun asal menghasilkan uang. Kendati sudah bekerja begitu keras, rasanya sia-sia saja. Biaya operasi Hilal yang mencapai Rp 16 juta terasa begitu besar dan entah kapan bisa dilunasi. Apalagi, kami hanya punya waktu 10 hari untuk melunasinya. Untung pihak rumah sakit berbaik hati memberi kelonggaran waktu dua hari sehingga kami masih sempat meminjam uang ke beberapa keluarga dan tetangga.

Demi kesembuhan Hilal pula, kami harus lebih berhemat. Rumah kontrakan kami tinggalkan dan kami menumpang di rumah orangtuaku. Sebenarnya uang kontrakan rumah itu tidak terlalu besar, hanya Rp 300.000 per tahun, tapi tetap saja uang sebesar itu sangat berarti untuk biaya pengobatan Hilal.

Kata dokter, kolostomi di perut Hilal sudah bisa ditutup setelah tiga bulan. Namun, baru setelah delapan bulan kemudian, tepatnya 23 Juli 2009, operasi penutupan dilakukan. Apalagi kalau bukan masalah biaya. Itu pun bisa dilakukan karena kami dapat bantuan dari sebuah stasiun televisi swasta sebesar Rp 14 juta. Soal utang ke keluarga dan tetangga sebesar Rp 16 juta, entah kapan bisa kami selesaikan. Kepalaku jadi tambah pening bila mengingat, sebentar lagi si sulung, Panda Erdini (11), akan masuk SMP.


SEJAK ususnya yang busuk dipotong, Hilal tidak lagi merasakan sakit pada bagian ususnya. Celakanya, rasa sakit justru berpindah ke bagian kolostominya. Setiap kali habis makan, makanan itu pasti langsung keluar melalui lubang anus buatan itu. Saat itulah dinding perutnya merasakan sakit yang luar biasa. Ia bisa menangis menjerit-jerit kesakitan. Belum lagi plastik yang menempel untuk menampung feses yang penuh dan harus diganti dengan yang baru. Double tape yang sering kali dilepas dan dipasang membuat kulit perutnya iritasi dan perih.

Jika sudah tak bisa menahan sakitnya, Hilal akan berujar, “Udah Hilal paeh aja! (Hilal lebih baik mati saja!)” Kadang juga ia berteriak minta maaf kepada Allah dan minta disembuhkan sambil mengatupkan kedua tangannya. Kasihan anakku. Setiap hari, selama delapan bulan itu, ia hanya menghabiskan waktunya di tempat tidur. Hilal hanya mampu berjalan beberapa menit karena jika terlalu lama ia pasti langsung merasakan sakit di bagian kolostominya. Setiap malam, ia juga harus tertidur dengan paha diangkat menyentuh ke perutnya. Katanya, terasa enak dan membantu menahan rasa sakitnya.


Kapok Makan Mi

Agar ia tidak merasa bosan di kamar seharian, aku mengalihkan rasa sakitnya dengan mengajarinya membaca. Awalnya, sih, sekadar membacakan buku-buku cerita untuknya, tapi lama-kelamaan ia merasa tertarik untuk membaca. Aku dan Panda bergantian mengajarinya. Tidak terasa, saat ini ia sudah lancar membaca, lo.

Memang, sebetulnya Hilal anak yang sangat pintar dan aktif. Sebelumnya ia tidak pernah sakit dan sangat penurut. Namun, sejak kelahiran adiknya dua bulan lalu, Ilham Haki, ia menjadi lebih manja padaku. Ia melarangku menggendong dan menyusui adiknya. Aku, sih, maklum saja karena dia masih sakit dan mungkin takut rasa sayangku direbut oleh adiknya.

Sekarang Hilal sudah bisa berjalan lagi. Memang, sih, masih sedikit bongkok, tapi aku yakin dalam waktu dekat ia bisa berdiri dan berjalan dengan sempurna. Katanya, ia ingin segera sekolah. Yang membuatku lega, sejak sakit itu, Hilal trauma dengan mi instan. Bahkan melihatnya saja, dia seakan tak sudi. Beda dengan dulu, sekarang ia sangat senang mengonsumsi makanan sehat, seperti sayur, daging, buah, dan susu. Susu memang dianjurkan dokter untuk membantu memperbaiki kondisi dan kinerja ususnya. Mudah-mudahan ia bisa segera sembuh dari sakitnya dan menjadi anak yang pintar serta berprestasi di sekolahnya nanti.

sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/08/21/1238313 usus.dipotong.akibat. kebanyakan.mi.instan.1#

Info Tambahan......

Dari berbagai sumber tidak resmi, kita disarankan untuk tidak mengonsumsi mie instan lebih 1 kali dalam 3 hari. Artinya rata-rata mie instan yang masih diperbolehkan untuk dikonsumsi agar tubuh ‘aman’ adalah 2 bungkus per minggu. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan medis karena mie instan mengandung lapisan lilin yang mana organ tubuh memerlukan waktu lebih dari 2 (dua) hari untuk membersihkan lilin tersebut dari sistem pencernaan kita. Lapisan lilin sengaja dilapisi pada mie instan hanya karena agar Mi Instan tidak lengket satu sama lainnya ketika dimasak.

Bukan hanya mie instan, banyak makanan instan di Indonesia, ternyata banyak mengandung bahan pengawet, perasa, dan pemanis buatan. Bahan-bahan addictive tersebut yang umum adalah MSG (monosodium glutamat) sebagai perisa makanan, natrium benzoat (sodium benzoat) sebagai pengawet, berbagai pewarna makanan (esp. pewarna tekstil), sakarin, siklamat, aspartam dan sorbitrol sebagai pemanis buatan dan masih banyak lagi. Yang mana bahan-bahan kimiawi addictive tersebut berbahaya karena menyerang sel saraf (seperti kanker) seperti MSG, menyerang hati dan ginjal (peawarna, pemanis, pengawet), atau natrium benzoat yang biasanya digunakan untuk racun tikus.
Bahan pengawet, perasa, dan pemanis buatan tersebut berpotensi besar menyebabkan kanker dan melukai usus sehingga terjadi pembusukan yang berakhir bocor. Bila frekuensi konsumsi tinggi, maka organ tubuh akan ‘kelelahan’ menetralkan racun, sehingga dalam beberapa kondisi akan terjadi pengendapan bahan kimia tersebut di usus halus bahkan menyentuh ke usus besar lalu anus. Sudah banyak kisah orang yang menderita kanker atau usus dipotong gara-gara sering mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet, perasa, dan pemanis buatan

Penjelasan berbeda:
Prof. Dr. F.G. Winarno, Ketua Dewan Pakar PIPIMM (Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman) . memberikan penjelasan berbeda mengenai hal ini:

Mitos: Mi instan mengandung lilin. Oleh karena itu, ketika dimasak airnya menguning.

Mi instan tidak menggunakan lilin. Lilin adalah senyawa inert untuk melindungi makanan agar tidak basah dan cepat membusuk. Lilin sebenarnya ada pada makanan alami seperti apel atau kubis. Kubis jika dicuci dengan air, tidak langsung basah. Atau apel yang jika digosok akan mengilap. Itulah lilin, yang memang diciptakan alam. Sementara mi instan, yang merupakan produk mi kering, sama sekali tidak membutuhkan lilin. Air menguning ketika memasak mi instan, sebenarnya didapat dari proses deep frying yang berkadar minyak tinggi.
Proses deep frying dilakukan agar kadar air bisa ditekan sampai titik terendah, sehingga mi instan lebih awet. Kadar minyak ini pasti tersisa pada mi dan menyebabkan mi instan mengilap, dan air rebusan jadi menguning dan berminyak. Dengan minyak ini, zat-zat tidak berguna yang terdapat dalam mi dipisahkan, sehingga yang tersisa adalah zat-zat yang memang diperlukan oleh tubuh.

Mitos: Mi instan menggunakan bahan pengawet yang berbahaya bagi kesehatan.

Dalam proses pembuatannya mi instan menggunakan metode khusus agar lebih awet, namun sama sekali tidak berbahaya.Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu cara pengawetan mi instan adalah deep frying yang bisa menekan rendah kadar air (sekitar 5%). Metode lain adalah air hot drying (pengeringan dengan udara panas). Inilah yang membuat mi instan bisa awet hingga 6 bulan, asalkan kemasannya terlindung secara sempurna. Kadar air yang sangat minim ini, tidak memungkinkan bakteri pembusuk hidup apalagi berkembang biak. Malah, mi instan tidak beraroma tengik serta tidak menggumpal basah. Langkah terakhir untuk memastikan mi instan layak konsumsi adalah perhatikan dengan seksama tanggal kadaluarsanya.

Mitos: Metode dua air terpisah adalah cara terbaik memasak mi.

Fakta: Justru, air rebusan mi pertama mengandung kandungan betakaroten yang tinggi. Semua vitamin (dari minyak dan bumbu) yang larut dalam air terdapat dalam air rebusan pertama ketika memasak mi. Apabila air rebusan tadi diganti dengan air matang baru, semua vitaminnya hilang. Selain itu, minyaklah yang membuat mi (atau makanan lain) lebih enak. Jadi, air rebusan pertama tidak perlu dibuang. Dan kandungan betakaroten juga tocoferol dalam minyak, sangat berguna memenuhi kebutuhan gizi.

sumber : kiriman artikel dr seorang teman.... sedang dirunut...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar