Rabu, 26 Agustus 2009

Mengapa Manusia Memilih Kehidupan Fana?

Bagaimana memaknai kehidupan? Bagaimana manusia harus mensikapi kehidupannya? Kehidupan dalam Islam, bukanlah rentang waktu yang pendek, yang digambarkan usia seseorang. Kehidupan menurut pandangan Islam adalah kehidupan di segala masanya, yakni kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Masa dalam kehidupan dunia berbanding jauh dengan kehidupan akhirat. Ia bagaikan hanya satu jam di tengah hari. Luas surga dalam kehidupan akhirat sebanding dengan langit dan bumi dalam kehidupan manusia. Sedangkan neraka dalam kehidupan akhirat mampu menampung seluruh orang kafir dalam seluruh masa. Suasana yang ada dalam kehidupan akhirat tidak akan bisa dirasakan dan disamakan dengan suasana yang ada dalam kehidupan dunia.

Allah Ta’ala telah mendiskripsikan dengan jelas tentang kehidupan akhirat dalam al-Qur’an dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, hingga tampak jelas hakikatnya bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Tapi, banyak manusia yang tidak mau memilih kehidupan yang lebih nyata, dan kekal, tapi manusia lebih memilih kehidupan yang fana, yaitu dunia. Allah Ta’ala berfirman : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (al-Ankabut :64)

Kisah indah digambarkan dalam kehidupan seorang sahabat, yaitu Hasan al-Basri, yang sangat zuhud terhadap dunia. Al-Basri tidak pernah terkena tipu daya dunia. Hidupnya jauh dari perbuatan durhaka, dan senantiasa diliputi ibadah kepada Rabbnya. Ia tinggalkan kehidupan dunia, yang melalaikan, dan hanya tipu daya belaka. Hasan al-Basri, benar-benar seorang, yang senantiasa dirinya terikat dengan akhirat. Jalan hidupnya penuh dengan ketaqwaan. Ia tidak ingin mengotori dengan pernak-pernik kenikmatan yang menipu, dan membuatnya terjatuh dalam murka-Nya.

Ketika Hasan al-Basri sedang sakit, saudara-saudaranya dan teman-temannya yang menjenguk merasa heran. Karena mereka tidak mendapati apa-apa dirumahnya, tidak ada tikar ataupun selimut, kecuali tempat tidur yang tidak ada apa-apanya. Hasan al-Basri rahimahullah adalah seorang ustadz (guru) dalam kewara’an. Dia mencari tingkat yang luhur dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang mengotorinya.

Alangkah indahnya hidup yang menahan diri dari selera nafsu dan beraneka ragam kenikmatan dunia.
Sementara, tak sedikit manusia yang binasa lantaran memperturutkan hawa nafsunya. Hasan al-Basri menjauhi hawa nafsu yang menyukai segala Sesutu, nafsu yang cenderung kepada aneka kesenangannya yang dapa merusaknya. Kewara’an Hasan al-Basri sampai ke tingkat ia tidak mengambil gaji dalam tugasnya dibidang peradilan. Tatkala Addi bin Arthat, seorang pejabat Iraq, memberinya uang sebesar 200 dirham, ia menolaknya. Addi mengira pemberian uang itu dianggap kurang oleh Hasan al-Basri. Karena itu, ia menambahnya. Namun, Hasan al-Basri tetap menolaknya. Al-Basri berujar : “Aku menolaknya bukan karena aku memandang uang itu sedikit. Aku menolaknya karena tidak mau mengambil upah dalam memutuskan hukum”, tegas al-Basri.

Tidak ada lagi di zaman sekarang manusia yang memiliki sikap hidup seperti Hasan al-Basri, yang zuhud terhadap kehidupan dunia. Manusia modern di saat sekarang ini, justru mengagungkan dan memuja kehidupan dunia, yang tidak ada artinya apa-apa dibandingkan kehidupan di akhirat nanti.

Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar