Kamis, 14 Juli 2011

Jenderal Hoegeng, Masihkah Jadi Teladan Polisi Indoneisa ?

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid secara bercanda pernah mengatakan bahwa di negeri ini ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yakni pertama "polisi tidur" dan kedua Hoegeng.

Bukan untuk kalangan polisi saja, tetapi masyarakat umum pun dapat belajar dari kisah kehidupan Jenderal Hoegeng. Sesungguhnya budaya korupsi itu dapat ditangkal dengan nilai kejujuran, kerja keras, dan kesederhanaan seperti yang tecermin dalam tingkah laku Hoegeng. Hoegeng lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921.

Nama pemberian ayahnya adalah Iman Santoso. Waktu kecil dia sering dipanggil bugel (gemuk), lama kelamaan menjadi bugeng, dan akhirnya berubah jadi hugeng. Setelah dewasa bahkan sampai tua, dia tetap kurus. Ayahnya Sukario Hatmodjo pernah menjadi kepala kejaksaan di Pekalongan; bertiga dengan Ating Natadikusumah (kepala polisi) dan Soeprapto (ketua pengadilan), mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur dan profesional.

Ketiga orang inilah yang memberikan andil bagi penumbuhan sikap menghormati hukum bagi Hoegeng kecil. Bahkan karena kekaguman kepada Pak Ating-- yang gagah, suka menolong orang, dan banyak teman--, Hoegeng pun bercita-cita menjadi polisi. Setelah lulus PTIK tahun 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur.

Penugasannya yang kedua sebagai kepala reskrim di Sumut menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian. Dia menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum dapat rumah dinas.

Masih ngotot, rumah dinas itu kemudian juga dipenuhi perabot oleh tukang suap itu. Kesal, dia mengultimatum agar barang-barang itu diambil kembali oleh pemberi dan karena tidak dipenuhi akhirnya perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan.

Maka gemparlah Kota Medan karena ada seorang kepala polisi yang tidak mempan disogok. Setelah sukses bertugas di Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta. Untuk sementara dia dan istri menginap di garasi rumah mertuanya di Menteng. Kemudian dia ditugasi sebagai Kepala Jawatan Imigrasi.

Sehari sebelum diangkat, dia menutup usaha kembang yang dijalankan istrinya di Jalan Cikini karena khawatir orang-orang yang berurusan dengan imigrasi sengaja memborong bunga untuk mendapatkan fasilitas tertentu. Selepas dari sini, atas usul dari Sultan Hamengku Buwono IX, Hoegeng diangkat menjadi Menteri Iuran Negara dalam Kabinet "Seratus Menteri" Juni 1965. Tahun 1966 dia kembali ke kepolisian sebagai deputi operasi dan tahun 1968 menjadi panglima angkatan kepolisian.

Dalam jabatan ini terjadi beberapa kasus yang menarik perhatian publik seperti Sum Kuning, penyelundupan Robby Tjahyadi, dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Coenrad. Keuletan menuntaskan kasus besar itu mengakibatkan Hoegeng diberhentikan oleh Presiden Soeharto walaupun masa jabatannya sebetulnya belum berakhir.

Sebelumnya Hoegeng juga merintis pemakaian helm bagi pengendara kendaraan bermotor yang ketika itu menjadi polemik. Kini terasa bahwa instruksi itu memang bermanfaat. Hoegeng ditawari jabatan duta besar di sebuah negara Eropa, tetapi dia menolak. Alumnus PTIK tahun 1952 ini lebih senang jadi orang bebas, dia tampil dengan grup musik Hawaiian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa itu.

Namun musik barat dengan kalungan bunga itu dianggap kurang sesuai dengan "kepribadian nasional" oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo sehingga dia tidak boleh tampil lagi. Kemudian Hoegeng bergabung dengan rekan-rekannya yang kritis dalam Petisi 50. Dia tetap sederhana. Ketika rapat kelompok ini di rumah Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng naik bajaj.***

Apa yang mendorong Hogeng menjadi tokoh yang bersih dan antikorupsi? Barangkali pendiriannya yang ditanamkan oleh ayahnya bahwa "yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan; jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan".

Ayahnya seorang birokrat yang sampai akhir hayatnya tidak sempat punya tanah dan rumah pribadi. Melihat kondisi sekarang, relevan untuk merenungkan pendapat Hoegeng: "Pemerintahan yang bersih harus dimulai dari atas. Seperti halnya orang mandi, guyuran air untuk membersihkan diri selalu dimulai dari kepala."

Terhadap para pemimpin yang kini saling berebut kekuasaan, tepat ujaran Hoegeng, "It's nice to be important, but it's more important to be nice." Ucapan yang sama sering pula dilontarkan kemudian oleh penyiar Ebet Kadarusman. Hoegeng sendiri punya pengalaman unik dengan Presiden Soekarno.

Suatu kali dia bersama lulusan PTIK tahun 1952 dipanggil ke Istana. Ketika ditanya namanya, Soekarno berkomentar, "Apa tidak salah itu, kan seharusnya Sugeng. Mbok diganti Soekarno." Kontan saat itu Hoegeng menjawab, "Nggak bisa Pak, karena Hoegeng itu dari orangtua saya, kebetulan nama pembantu di rumah saya juga Soekarno."

"Kurang ajar kamu," kata Presiden Soekarno sambil tertawa lepas. Sikap terbuka dan tidak takut kepada atasan bila benar itulah yang dipegang oleh Hogeng selama bertugas. Namun itulah yang mengakibatkan dia dicopot dari jabatan kepala kepolisian tahun 1971 oleh Presiden Soeharto. Kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene Conrad tidak sepenuhnya memuaskan hatinya.

Kasus Sum Kuning di Yogya yang melibatkan putra seorang pejabat/bangsawan Yogya serta seorang putra pahlawan revolusi diputuskan secara berliku-liku. Demikian pula dengan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi.

Hoegeng ingin bertindak profesional, tetapi hal ini tampaknya tidak menyenangkan hati atasannya. Memang kalau kita ingin hukum tegak di negeri ini, contoh itu harus dimulai dari presiden. Hoegeng seorang pekerja keras. Dia adalah profesional sejati.

Dari orangtuanya dia mewarisi nilai-nilai kebajikan yang tidak mengagungkan harta atau kepemilikan. Kejujuran dan kepedulian sosial itulah yang lebih utama. Namun Hoegeng bukan hanya seorang yang bersih untuk dirinya sendiri.

Dia juga membersihkan lingkungannya. Istrinya tidak diberi kesempatan untuk melakukan KKN. Anak-anaknya dilarang memanfaatkan fasilitas jabatan sang ayah. Di tempat bertugas, dia membersihkan anak buahnya. Yang tidak jujur dikeluarkan atau dikontrol sedemikian rupa sehingga tidak tahan untuk keluar.

Di antara rekan-rekan seprofesi dalam bidang penegakan hukum Hoegeng mengupayakan forum untuk mengatasi berbagai kejahatan, termasuk korupsi. Di Medan dia berhasil memberantas korupsi dan penyelundupan berkat kerja sama dengan instansi lain, termasuk militer. Lima tahun silam, 14 Juli 2004 dini hari, Hoegeng Iman Santoso telah pergi. Makin habis orang-orang jujur di negeri ini.(*)


Berbicara tentang Hoegeng, sebuah sosok Polisi yag jujur dan sederhana, maka kita akan menemukan begitu banyak kontroversi yang melingkupi kehidupan dan kariernya selama di kepolisian. Dia terkenal ngotot untuk memperjuangkan kepolisian yang bersih dan menegakkan keadilan di negeri ini. Hal-hal yang dia lakukan antara lain:

• Pada masa jabatannya demikian banyak menteri yang diperiksa karena dugaan korupsi atau penyalahgunaan jabatan. Mantan menteri kehakiman dihukum setahun karena terbukti menerima suap RP40.000 sedangkan menteri luar negeri didenda Rp5000 karena dianggap “lalai” membawa uang titipan 11.000 dolar AS ke luar negeri.

• Di Medan, Hoegeng mengembangkan forum antikorupsi yang terdiri dari aparat hukum bersama tokoh sipil dan militer, yang mengadakan rapat sepekan sekali.
• Penyelesaian kasus tertembaknya mahasiswa ITB Rene Coenrad Oktober 1970 yang menjadi salah satu lembaran hitam taruna Akabri Kepolisian.

• Penyelesaian peristiwa “Sum Kuning” yang menghebohkan dan kabarnya melibatkan putra pejabat/bangsawan Yogya dan putra pahlawan revolusi itu dan diselesaikan dengan cara berliku-liku: ada pihak di luar polisi yang melakukan intervensi. Sedangkan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahyadi membenturkan Hoegeng dengan “orang kuat” Indonesia meskipun akhirnya pelaku kejahatan ekonomi itu sempat dijatuhi hukuman.

Pertanyaannya adalah masih kah ada Polisi ataupun pemimpin level atas yang sangat menjunjung tinggi Kejujuran dan kesederhanaan..serta bekerja dengan sungguh-sungguh


Heboh berita rekening gemuk milik para jenderal polisi menjelang Hari Bhayangkara, kita menjadi rindu dengan sosok sederhana Pak Hoegeng, mantan Kapolri yang mendapat tempat di hati rakyat.

Semasa dinas tidak pernah memiliki mobil pribadi sehingga ketika pensiun ke mana-mana harus naik bus kota. Saingannya adalah Bung Hatta, seusai mundur dari kursi wakil presiden di rekeningnya cuma ada Rp 200, sementara uang pensiunnya tidak mencukupi untuk membayar langganan listrik rumah tinggalnya.

Sampai akhirnya Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin harus turun tangan membantu mengatasi tagihan Pajak Bumi dan Bangunan rumah kedua tokoh bangsa itu. Kedua figur panutan itu mungkin hanya dilahirkan sekali dan miskin pengikut.

Tidak bekerjanya sistem meritokrasi dalam pemerintahan dan perekrutan politik yang kotor hampir mustahil orang yang jujur dan taat asas memiliki karier yang baik, malah senantiasa tersisih oleh mereka yang sanggup membeli jabatan.

Dari jabatan yang pernah diembannya, di keimigrasian, kepolisian, pajak, serta Bea dan Cukai, sesungguhnya terbuka peluang bagi Pak Hoegeng untuk memperkaya diri. Coba saja tengok kekayaan mantan Dirjen Pajak di zaman Orde Baru atau pegawai seperti Gayus.

Hubungan patronase antara pejabat dan pengusaha dalam bisnis bukan saja menimbulkan distorsi ekonomi, tetapi juga melahirkan rezim korupsi yang sulit diatasi karena merupakan perkawinan kekuasaan politik dan uang.

Dari cuplikan peristiwa yang saya baca dari kliping koran lawas, Pak Hoegeng memang anomali dari keadaan itu. Ketika menjabat Kadit Reserse Kriminal Kepolisian Sumut, beliau sudah mengusir seorang pengusaha yang menjadi ketua penyambutan dirinya yang menghadiahinya sebuah mobil dan peralatan rumah dinas.

Kapolri Hoegeng juga pernah meminta istrinya untuk mengembalikan satu peti peralatan rumah tangga modern dari seorang pengusaha yang sedang berperkara dan menutup kios bunga milik istrinya karena khawatir menimbulkan konflik kepentingan.

Semasa menjadi Menteri Iyuran Negara, beliau menolak proposal dari seorang kontraktor untuk merenovasi rumah tinggalnya yang dinilainya tidak layak. Di tangan Pak Hoegeng, semua pelaku kejahatan yang ditanganinya tidak berkutik.

Sekadar contoh, pengusaha Robby Tjahyadi, perwira polisi dan militer yang terlibat dalam penyelundupan mobil mewah terbesar saat itu, adalah satu jaringan kejahatan yang dibabatnya. Penyelundupan pada awal tahun 1970-an telah menjadi masalah yang pelik karena melibatkan aparat berwenang. Namun, keberanian Pak Hoegeng membongkar mafia penyelundupan itulah yang diisukan menjadi alasan pemberhentiannya di tengah jalan dari jabatan Kapolri oleh Presiden Soeharto.

Kelebihan Pak Hoegeng, beliau tidak bersih untuk dirinya sendiri, tetapi juga menebarkan inspirasi dan motivasi untuk melakukan perubahan di lingkungan tempat kerjanya. Beliau memprakarsai pertemuan-pertemuan dan lobi-lobi antikorupsi secara reguler, dengan melibatkan para pejabat sipil dan militer serta tokoh masyarakat.

Sesungguhnya, Pak Hoegeng saat itu telah menerapkan strategi good governance, yang sejak awal 1990-an menjadi ideologi global untuk melawan korupsi, yaitu diperlukan adanya aksi bersama dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat warga (civil society).

Pola hidup yang bersahaja, hampir apa adanya, barangkali yang membebaskan tokoh seperti Pak Hoegeng tidak terjebak dalam penyakit hedonisme seperti pejabat dan politisi saat ini yang menyeret mereka dalam gaya hidup yang menghalalkan segala cara, termasuk menanggalkan harga diri.

Pascareformasi, polisi memiliki kekuasaan yang sangat besar, mulai dari urusan pelayanan administrasi kendaraan bermotor, izin keramaian, hingga bergesekan dengan urusan dunia usaha, maka wajar godaannya juga sangat besar.

Kita patut acungkan jempol dengan reformasi dalam pelayanan administrasi kendaraan bermotor yang sudah memenuhi kaidah-kaidah pelayanan umum yang baik. Terbongkarnya keterlibatan polisi dalam mafia pajak, dan kini muncul lagi masalah rekening milik perwira tinggi yang mencurigakan, padahal beberapa tahun lalu PPATK juga pernah melaporkan 15 perwira yang memiliki puluhan rekening serupa, mengindikasikan ada persoalan besar menyangkut integritas aparat kepolisian kita.

Tentu ini tantangan bagi pimpinan Polri apakah atas nama solidaritas korps ingin mengubur dalam-dalam masalah ini, atau mengundang PPATK dan KPK untuk mengusut kebenaran rekening itu guna memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Presiden dan DPR barangkali harus menangkap gejala ini sebagai saat yang tepat untuk melakukan pembenahan kepemimpinan besar-besaran di tubuh Polri.

http://nasional.kompas.com/read/2010/07/01/09155112/Merindukan.Figur.Pak.Hoegeng.

http://news.okezone.com/read/2009/07/01/58/234544/58/hoegeng-pahlawan-antikorupsi

1 komentar:

  1. Keren tulisannya gan, menginspirasi banget. Semoga pemimpin kita bisa terbuka hatinya, dan belajar dari pak Hoegeng.

    BalasHapus