Jumat, 18 Desember 2009

Warga Surabaya, Jangan Minum Air PDAM Meski Sudah Dimasak

Warga Surabaya diimbau tidak mengonsumsi air PDAM, meski sudah dimasak. Pasalnya, saat ini air sungai yang jadi bahan baku sedang tercemar limbah industri dan rumah tangga. Dirut PDAM Surabaya M Selim mengatakan, pencemaran terjadi sejak 18 November 2009 sekitar pukul 22.00 WIB. Polutan berasal dari buangan industri dan rumah tangga, termasuk buangan drainase dari Gunungsari. Kondisi ini diperparah dengan tambahan air hujan 15 Desember 2009 sekitar pukul 08.00 WIB. “Pencemaran ini sampai-sampai membuat IPAM Ngagel I, II, dan III, tak mampu menghasilkan air layak konsumsi, karena sisa khlor hanya 0 ppm,” ujar Selim lewat rilis, Rabu (17/12).Desember 2009 sekitar pukul 08.00 WIB. “Pencemaran ini sampai-sampai membuat IPAM Ngagel I, II, dan III, tak mampu menghasilkan air layak konsumsi, karena sisa khlor hanya 0 ppm,” ujar Selim lewat rilis, Rabu (17/12). Khlor 0 ppm ini, kata Selim, mengindikasikan tingginya polutan bahan organik dalam air baku. Padahal, semestinya sisa khlor di IPAM berkisar 0,8 - 1 ppm dan harus sampai di pelanggan 0,1 -0,2 ppm.

Kandungan kalium permanganat (KMnO4) juga 17-18 ppm, padahal semestinya maksimum 10 ppm. Demikian pula kadar oksigen terlarut (DO/dissolved oxygen) hanya 1,7 ppm, padahal semestinya lebih dari 6 ppm, sesuai PP 82/2001). “Untuk itu, kami imbau semua pelanggan untuk tidak mengonsumsi air PDAM untuk dimasak selama masih berbau dan berwarna,” saran Selim.

Dalam satu dua hari ini ia akan berjuang keras meningkatkan kapasitas aerasi, antara lain dengan menambah blower, meningkatkan pemakaian dosis bahan kimia tawas, gas khlor, kaporit, dan karbon aktif hingga 200 persen. Selain itu, juga akan menggelontor air produksi yang tercemar dan mencuci filter sesering mungkin. Selim juga mengimbau para pengusaha tidak membuang limbah industri ke Kali Surabaya.

Direktur Ecoton Prigi Arisandi menyerukan perlunya gerakan massal mengatasi pencemaran. Sekarang, katanya, tak bisa lagi mengandalkan Bapedalda, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), maupun Jasa Tirta, karena mereka terikat prosedur saat bergerak. “Kita tidak bisa menaruh harapan lagi ke mereka. Mereka takut melangkah,” katanya. Gerakan massal ini bisa dicetuskan siapa saja dan diikuti siapa saja seperti gerakan pengumpulan koin solidaritas Prita. “Kami siap membackup,” lanjut Prigi. Surya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar