Sabtu, 24 Agustus 2013
Jumpa lagi kawan......
Minggu, 15 April 2012
Bahaya Utang di Dunia & Akherat
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi pernah berhutang, Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. karena hutang dapat menimbulkan rasa penyesalan mendalam di dunia maupun pada hari kiamat.
Sungguh hal itu melebihi kehinaan di dunia yang selalu me
nunggu untuk dibayar dan dilunaskan pada hari tersebut. Yaitu suatu hari orang yang pailit datang dengan kefakiran, kelemahan dan kehinaannya. Ia tidak mampu melunasi hutangnya dan tidak pula mengemukakan uzurnya. Maka pada saat itu, diambillah (pahala) amal-amalnya yang dengan susah payah ia kumpulkan dengan menghabiskan usianya lalu berpindah ke tangan orang-orang yang menuntutnya sebagai ganti harta yang belum dikembalikan.mengaSungguh telah termaktub dalam berbagai riwayat bahwa Nabi r menolak untuk men-shalatkan orang mati yang meninggalkan hutang. Di antaranya suatu ketika didatangkan seorang mayit agar beliau berkenan men-shalatkannya, tapi beliau berkata: “Shalatkanlah teman kalian karena sesungguhnya dia memiliki tanggungan hutang”. (HR, Tirmidzi, beliau berkata, hadits ini adalah hasan shahih). Hal ini terjadi di permulaan Islam, setelah Allah memenangkan RasulNya maka beliau bersabda: “Saya lebih berhak terhadap setiap mukmin dari dirinya sendiri, siapa saja yang meninggalkan hutang maka saya yang menanggungnya sedangkan yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya”. Oleh karena itu, setiap orang yang meninggal dunia dan belum melunasi hutangnya maka pelunasannya akan diambilkan dari pahala-pahala amal kebajikannya.
ntarkan pada banyak dusta.
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Orang yang berutang seringkali berdusta ketika pihak kreditur datang menagih, “Kapan akan kembalikan utang?” “Besok, bulan depan”, sebagai jawaban. Padahal itu hanyalah dusta dan ia sendiri enggan melunasinya.
mendatangkan kefakiran dan hilangnya keberkahan
Sesungguhnya banyak hutang dapat mendatangkan kefakiran dan hilangnya keberkahan dari harta yang ada serta mengingatkan kepada kehancuran dan kerugian. Sebagian orang ada yang bergaji jutaan rupiah, tapi dia tetap mengeluhkan lilitan hutang. Hal ini merupakan hasil dari jeleknya menejemen keuangannya dan menjatuhkan dirinya ke lembah perkreditan dalam membeli barang-barang mewahnya.
Maka tambal sulamnya semakin lebar, hingga akhirnya menyulitkan hidupnya dalam jangka yang lama dengan income yang tidak seimbang dengan tuntutan-tuntutan dari pihak pengutang. Ini tiada lain kecuali sebab ifrath (tindakan berlebih-lebihan) nya. Padahal Allah telah berfirman: “ Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (amat pelit) dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya (amat royal tanpa perhitungan). Karena itu akan menjadikanmu tercela dan menyesal“ (QS. Al-Isra’: 29) dan “ Dan orang-orang yang jika membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir “ (QS: Al-Furqan: 67). Sedangkan dalam hadits disebutkan: “Tidak akan jatuh miskin orang yang bertindak sederhana (tindakan tengah-tengah antara kikir dan berlebih-lebihan)” .
Setiap orang harus merasa besar efek yang diwariskan hutang dan adanya hadits yang amat keras dalam perkara ini, karena hutang disamakan dengan kekafiran dalam balasannya. Dari Abi Sa’id Al-Khudriy ia berkata, saya mendengar Rasul r bersabda: “Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan lilitan hutang”. Maka ada salah seorang sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apakah sama antara kekafiran dengan lilitan hutang?” Beliau menjawab: “Ya”. (HR. Nasa-i tapi dilemahkan oleh Al-Albani)
Hutang merupakan bendera kelemahan dan kehinaan. Allah menghinakan seseorang dengannya. Olah karenanya, jika Allah menginginkan kehinaan seorang hambaNya, maka Allah lilitkan hutang kepadanya. Dari Ibnu Umar, Nabi r bersabda: “Hutang adalah bendera milik Allah di atas bumi, jika Dia menghendaki kehinaan seorang hambaNya maka ditaruhlah –hutang tersebut- di lehernya”. (HR. Hakim)
resiko akherat
1. Akan menyusahkan dirinya di akhirat kelak.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
2. Jiwanya masih menggantung hingga hutangnya lunas.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078 dan Ibnu Majah no. 2413. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, artinya tidak bisa kita katakan ia selamat ataukah sengsara sampai dilihat uhtangnya tersebut lunas ataukah tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142). Asy Syaukani berkata, “Hadits ini adalah dorongan agar ahli waris segera melunasi hutang si mayit. Hadits ini sebagai berita bagi mereka bahwa status orang yang berhutang masih menggantung disebabkan oleh hutangnya sampai hutang tersebut lunas. Ancaman dalam hadits ini ditujukan bagi orang yang memiliki harta untuk melunasi hutangnya lantas ia tidak lunasi. Sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan sudah bertekad ingin melunasi hutangnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah untuk memutihkan hutangnya tadi sebagaimana hal ini diterangkan dalam beberapa hadits.” (Nailul Author, 6/114). Penjelasan Asy Syaukani menunjukkan ancaman bagi orang yang mampu melunasi hutang lantas ia tidak amanat. Ia mampu melunasinya tepat waktu, namun tidak juga dilunasi. Bahkan seringkali menyusahkan si pemberi hutang. Padahal si kreditur sudah berbaik hati meminjamkan uang tanpa adanya bunga dan mungkin saja si kreditur butuh jika hutang tersebut lunas.
Demikian pula keterangan akan kerasnya peringatan mengenai hutang adalah seseorang yang mati syahid tidak boleh memasuki surga jika belum melunasi hutangnya. Dari Muhammad bin Abdullah bin Jahsy ia berkata: “suatu saat Nabi r duduk sedangkan jenazah ditaruh (di liang lahat). Maka beliau memandang ke langit lalu menurunkannya dan terus meletakkan tangan ke kening beliau sambil berkata: “Subhaanalllaah, subhaanallaah. Attasydid telah diturunkan”. Muhammad berkata: Kami tahu lalu diam hingga datang hari besoknya saya tanyakan kepada beliau: “Apa tasydid yang telah diturunkan, ya Rasul?” Beliau menjawab: “Mengenai hutang. Demi Dzat yang menguasai diriku jika seseorang terbunuh fi sabilillah (mati syahid) lalu hidup kemudian terbunuh lalu hidup kemudian terbunuh lagi sedangkan dia memiliki tanggungan hutang maka tidak bisa masuk surga hingga terselesaikan hutangnya”. Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Allah mengampuni segala dosa orang yang mati syahid kecuali hutang”. Sedangkan dalam Musnad Imam Ahmad termaktub: “Sesungguhnya teman kalian tertahan di pintu surga sebab hutangnya (yang belum terlunaskan)”, dari hadits Samurah.
3. Diberi status sebagai pencuri
jika berniat tidak ingin mengembalikan hutang. Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
Sesungguhnya meminjam dengan niat tidak mengembalikannya adalah termasuk tindakan khianat dan pencurian. Nabi r bersabda: “Siapa saja yang menikahi seorang wanita dengan suatu mahar padahal ia berniat tidak ingin memberikannya maka ia adalah pe-zina. Dan siapa saja yang berhutang sedangkan ia berniat untuk tidak mengembalikannya maka ia termasuk pencuri”. Dalam riwayat Thabrani: “Ia akan bertemu Allah sebagai pencuri”. Dalam riwayat lain: “Ia mati saat kematiannya sebagai penghianat sedangkan penghianat (tempat kembalinya) di neraka”. (HR. Thabrani). Dalam kesempatan yang lain Nabi bersabda:”Siapa saja yang mengambil harta kawannya dengan niat membayarnya maka Allah akan menunaikan untuknya (memudahkannya) dan siapa saja yang mengambilnya dengan niat merusakkannya maka Allah akan menghancurkannya”. (HR. Bukhari)
Pikir Matang-Matang Sebelum Berhutang
Sungguh tidak berhutang dan lebih mengutamakan selamat itu jauh lebih baik daripada mengambil hutang yang menyibukkannya. Sehingga ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membayarnya di waktu mendatang. Padahal karena hal itu, seseorang dapat terpelanting masuk neraka. Sebab pahala-pahalanya diambil dan diberikan kepada orang-orang yang mengutanginya. Jika tidak cukup, maka dosa-dosa mereka ditimpakan kepadanya. Sebagian orang sampai kepada kondisi bahwa ia berhutang untuk liburan ke luar negeri hingga akhirnya keberatan dalam melunasinya. Hal itu, terjadi karena ketidak tahuannya akan bahaya hutang dan mengikuti orang-orang kaya. Maka dia terjerembab kepada hal yang amat dibenci Allah yaitu orang miskin yang sombong serta berlari dari celaan keluarga. Imam Khathabi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud sebuah hadits marfu’: “Akan datang suatu masa bahwa seseorang binasa ditangan isterinya, orang tua dan anaknya. Maka mereka mencelanya dengan kefakiran dan membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuannya lalu dia memasuki pintu-pintu yang melenyapkan diennya hingga akhirnya dia hancur dan binasa”.
Sederhanakan kebutuhan belanja saudara dan jangan berlebih-lebihan hingga tidak menyesal nantinya.
Janganlah saudara berhutang kecuali dalam keadaan terjepit dan darurat. Tahukah saudara arti darurat? Yaitu sesuatu yang –jika tidak dilakukan- menyebabkan kerusakan dunia dan akhirat. Contohnya mengakhirkan nikah, padahal dia hawatir jatuh ke lembah perzinaan. Dalam hadits diterangkan: “Ada tiga kelompok yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah, diantaranya adalah: orang yang ingin menikah”.
Akhirnya, saya berdoa kepada Allah agar berkenan memberikan taufiq kepada kita dalam menghindari jeratan hutang yang akhirnya kita tak mampu menyelesaikannya di dunia.
sumber:
http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/3438-tidak-amanah-dalam-melunasi-hutang.html
http://abufawaz.wordpress.com/keutamaan-dan-bahaya-hutang-piutang
http://www.nouralislam.org/indonesian/indofiles/fiqh/bahaya.htm